Daripada Larang Ekspor CPO, Rudi Hartono Sebut Lebih Baik Ganti Mendag

Anggota Komisi VI DPR RI Rudi Hartono Bangun. (sumber: dpr.go.id)
Anggota Komisi VI DPR RI Rudi Hartono Bangun. (sumber: dpr.go.id)

Gemapos.ID (Jakarta) - Anggota Komisi VI DPR RI Rudi Hartono Bangun mendesak pemerintah ketimbang melarang ekspor CPO lebih baik menghukum dan menjatuhkan sanksi keras kepada oknum dan perusahaan-perusahaan nakal. 

Menurut Rudi Harono mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng akibat dugaan korupsi ijin ekspor minyak sawit mentah dengan menghentikan ekspor ibarat mau menangkap 3 ekor tikus, tapi satu lumbung padi di bakar.

"Saya mendukung penangkapan yang dilakukan Kejaksaan Agung. Bahkan kalau perlu mengganti semua jajaran Kementerian Perdagangan, termasuk menterinya," kata Rudi dalam keterangannya, Selasa (26/4/2022).

Oleh karena itu, sambung legislator dapil Sumatera Utara III tersebut, pemerintah perlu mempertegas dan memperketat implementasi kebijakan Domestic Price Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). 

“Jadi tidak perlu melarang ekspor, karena petani kecil yang menerima dampaknya. Perusahaan CPO besar harus kontrol ketat, begitupun dengan pejabat Kemendag harus diawasi ketat,” tegasnya Rudi.

Bukan tanpa sebab, Rudi mejelaskan, kebijakan Presiden Joko Widodo melarang ekspor crude palm oil (CPO) dan minyak goreng per 28 April 2022 itu berdampak negatif pada petani sawit. 

Ia memaparkan, saat ini harga Tanda Buah Segar (TBS) milik petani sawit sudah anjlok ke Rp1000 akibat kebijakan larangan ekspor.

Pasalnya, kata Rudi, pabrik CPO tak mau menerima TBS dari petani terlalu banyak. Karena kapasitas tanki penyimpanan pabrik (storage) terbatas, sebab pabrik juga memiliki simpanan TBS dari kebun. Sementara petani sawit tak memiliki tanki penyimpanan. 

"Jadi posisi petani sawit ini serba salah, dijual harganya turun, tidak dijual barang jadi busuk," ujar Rudi.

Rudi menjelaskan di daerah pemilihannya mayoritas petani yang menggantungkan hidupnya dari kebun sawit. 

Para petani sawit kecil ini rata-rata memiliki kebun 2 hektare hingga 10 hektare, sementara petani kelas menengah memiliki 500 hektare hingga 1000 hektare. Selebihnya dikuasai perusahaan besar yang memiliki pabrik pengolahan. 

“Ada jutaan petani sawit yang hidup hanya dari perkebunan kelapa sawit,” ungkap Rudi.

Belum lama ini, ungkap Rudi, petani sawit di daerahnya mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Jokowi. Karena mulai tanggal 26 April 2022, Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS) yang berada di Sumut, tidak lagi menerima atau membeli buah sawit hasil panen dari kebun petani, sampai batas waktu yang belum ditentukan. 

“Saya mendapat info dari masyarakat, perusahaan swasta PT RMM yang selama ini menampung sawit petani, tidak lagi membeli," papar politisi Partai NasDem ini. (rk)