Komentar Pakar Politik Tentang Wacana Penundaan Pemilu 2024

Pakar Komunikasi Politik, Mikhael Rajamuda Bataona, menilai wacana penundaan Pemilu 2024 dilempar Ketum DPP Partai Kebangkita Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar ke publik hanya untuk konsolidasi kekuasaan
Pakar Komunikasi Politik, Mikhael Rajamuda Bataona, menilai wacana penundaan Pemilu 2024 dilempar Ketum DPP Partai Kebangkita Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar ke publik hanya untuk konsolidasi kekuasaan

Gemapos.ID (Jakarta) - Pakar Komunikasi Politik, Mikhael Rajamuda Bataona, menilai wacana penundaan Pemilu 2024 digulirkan Ketum DPP Partai Kebangkita Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar hanya untuk konsolidasi kekuasaan 

Namun, hal ini harus dianggap sebagai sebuah gagasan, sehingga ini tidak bisa dikriminalisasi.

“Siapa saja bebas berpikir dan berwacana sepanjang wacana tersebut waras dan rasional, tetapi ketika wacana tentang penundaan Pemilu oleh Muhaimin Iskandar ini dikontestasikan dengan gagasan negara hukum yang dianut di RI, maka gagasan ini dengan sendiri runtuh,” katanya pada Jumat (25/2/2022).

Pemilihan umum (Pemilu) wajib dilaksanakan serentak pada 2024, kecuali Undang-Undang Pemilu diamandemen oleh DPR RI, sehingga gagasan ini bisa diterima.

"Sehingga, menurut saya, wacana yang dilemparkan oleh Muhamin Iskandar ini sangat politis, bersayap dan bukan sebuah wacana baru," ucapnya.

Bataona menilai gagasan penundaan Pemilu merupakan gagasan lama yang mirip dengan wacana tentang presiden tiga periode atau gagasan tentang perpanjangan masa jabatan presiden.

Manuver Muhaimin Iskandar memiliki sasaran tembak pada kekuasaan bukan murni pertimbangan demi keamanan ekonomi negara. Muhaimin sebagai ketum partai ingin terus mengkonsolidasi kekuasaannya lewat menteri di kabinet dan semua jejaring kekuasaan yang dimiliki.

"Karena kekuasaan itu nikmat. Sayang jika rezim berganti dan cengkeraman pada kekuasaan di kabinet harus berakhir," ucapnya.

Dengan mengundur waktu, ucap Bataona, PKB dan Muhaimin bisa memiliki waktu banyak dan sumber daya untuk memastikan kesiapan mereka menghadapi kontestasi elektoral berikutnya secara nasional.

"Jadi, apabila dianalisis, itu sebuah pernyataan bersayap yang motifnya adalah politik kekuasaan," ucapnya.

Manuver politik ini tidak bisa dipersalahkan secara moral, karena itu bagian lain dari praksis politik. Hal yang perlu dilakukan untuk membendung hasrat-hasrat politik seperti ini adalah kembali kepada konstitusi. 

“Politik dan para politisi wajib tunduk pada Undang-Undang dan aturan Negara hukum tentang Pemilu,” ucapnya. (ant/adm)