Ada Apa dengan UU Kejaksaan?

Ricki Martin Sidauruk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan Pasal 30C Huruf h ayat 1 UU ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ricki Martin Sidauruk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan Pasal 30C Huruf h ayat 1 UU ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Gemapos.ID (Jakarta) - icki Martin Sidauruk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan Pasal 30C Huruf h ayat 1 UU ke Mahkamah Konstitusi (MK).

UU ini disahkan DPR pada 6 Desember 2021 yang diundangkan pada 31 Desember 2021. 

"Menyatakan Pasal 30C Huruf h ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tulis petitum Ricki Martin Sidauruk dalam laman MK pada Rabu (12/1/2022).

Menurut pemohon, pranata PK diadopsi untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya merupakan esensi dari lembaga PK.

"Apabila esensi tersebut dikesampingkan atau ditiadakan dengan memberikan kewenangan Kejaksaan untuk mengajukan PK, maka PK kehilangan maknanya dan berpotensi melanggar prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki seorang terpidana," tulisnya.

Pada sisi lain Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang menyatakan jaksa tidak berhak atau berwenang mengajukan PK.

Upaya hukum PK dilandasi filosofi pengembalian hak dan keadilan seseorang yang meyakini dirinya mendapat perlakuan yang tidak berkeadilan yang dilakukan oleh negara berdasarkan putusan hakim. 

“Sehingga hukum positif yang berlaku di Indonesia memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan upaya hukum luar biasa yang dinamakan dengan PK," tulisnya.

Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang dimaksud adalah saat istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran, mengajukan permohonan judicial review KUHAP ke MK. 

Dalam putusan itu MK menyatakan jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan permohonan PK, kecuali terpidana atau ahli warisnya.

"Mengabulkan permohonan Pemohon, Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit (tegas) tersurat dalam norma a quo," ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor No 33/PUU-XIV/2016 di ruang sidang MK, pada 2016.

Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung (MA). 

Dengan putusan itu maka Pasal 263 ayat 1 harus dimaknai jaksa tidak berwenang mengajukan PK. Sebab, bisa menimbulkan dua pelanggaran prinsip PK, yaitu pelanggaran terhadap subjek dan objek PK. 

Subjek PK adalah terpidana atau ahli warisnya dan objek adalah putusan di luar putusan bebas atau lepas.

"Apabila memberikan hak kepada jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) tentu menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus tidak berkeadilan," cetus MK yang diketok secara bulat oleh sembilan hakim konstitusi.

Awalnya, Djoko Tjandra divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) hingga tingkat kasasi pada 2001. Alasannya, perbuatan yang didakwakan bukan tindak pidana, melainkan lingkup perbuatan perdata. 

Delapan tahun kemudian, jaksa penuntut umum mengajukan permohonan PK dan menang. Djoko dihukum bersalah dan dipidana dua tahun penjara. Namun Djoko Tjandra kabur sesaat setelah amar PK diputuskan. 

Terakhir Djoko Tjandra menyuap sejumlah pejabat Indonesia agar bisa mengajukan upaya PK yang berlanjut diadili. Kini dia dihukum 2,5 tahun penjara di kasus surat palsu dan 4,5 tahun penjara di kasus korupsi menyuap pejabat. 

Djoko Tjandra juga harus menjalani hukuman korupsi 2 tahun penjara di kasus korupsi cessie Bank Bali lebih dari Rp 500 miliar. (dtc/din)