Apakah PPKM Mesti Berlanjut Saat Penurunan Kasus Covid-19?

covid-19
covid-19
Pemerintah kembali harus memutuskan perpanjangan atau penghentian pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat pada Senin (23/8/2021). Keputusan ini mesti didasari sejumlah pertimbangan. Selain itu apa yang dilakukan mesti tidak memicu situasi memburuk minimal stabil dicapai pada akhir pelaksanaan suatu kebijakan. Kondisi tersebut selalu jarang tercapai, bahkan cenderung kebobolan. Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 melaporkan sebanyak 3.979.456 kasus positif Covid-19 dialami Indonesia sampai Minggu (22/8/2021) pukul 12.00 WIB. Angka ini naik 12.408 kasus positif Covid-19 dibandingkan Sabty (21/8/2021) pukul 12.00 WIB. Dari 3.979.456 kasus positif Covid-19 terdiri dari 3.546.324 orang sembuh dan 126.372 orang meninggal dunia. Sementara itu penambahan 12.408 kasus positif Covid-19 terbanyak terjadi di Jawa Timur (Jatim) sebesar 1.301 kasus positif Covid-19. Ini disusul oleh Jawa Barat (Jabar) sebesar 1.192 kasus positif Covid-19 dan Sumatera Utara (Sumut) sebesar 1.002 kasus positif Covid-19. Dengan demikian, kasus positif Covid-19 masih terbanyak di Pulau Jawa ketimbang pulau-pulau lainnya. Di luar Jawa tertinggi dialami Kalimantan Timur (Kaltim) sebesar 599 kasus positif Covid-19. Apakah, ini berarti kebijakan PPKM bisa dilonggarkan di Jawa? Itu bisa dilakukan dengan tingkat kewaspadaan tinggi. Lihat saja dampak pelonggaran mobilitas pulang kampung sampai satu bulan sebelum Lebaran 2021 atau April-Mei 2021 memicu kenaikan terus kasus Covid-19 mulai Juni 2021 hingga awal Agutus 2021. Hal yang sama terjadi di berbagai belahan dunia, kasus Covid-19 tidak bisa diberikan kelonggaran tanpa pengawasan ketat. Hal ini didasari infeksi yang kadang tidak terdeteksi oleh tes Covid-19. Menyoal tes Covid-19 di Indonesia masih rendah dibandingkan jumlah penduduk. Angka ini dilihat dari total specimen diperiksa 30.561.830 atau naik 148.410. Untuk jumlah orang dicapai 20.501.173 atau naik 85.216. Bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang masih melakukan mobilitas. Apalagi dilakukan dengan total populasi ini mencapai 271,34 juta sampai Januari 2021. Metode tes Covid-19 hanya dipriorotaskan saat gejala Covid-19 atau tracing (pelacakan) seolah penanganan kasus ini ketika terjadi yang bisa sudah telat diselesaikan. Hal ini berbeda ketika itu dilakukan secara periodik untuk suatu kewaspadaan. Tidak heran kebijakan tadi digulirkan pemerintah akibat belum sanggup diberikan secara gratis. Upaya menekan harga tes Covid-19 belum mampu dilakukan pemerintah kepada swasta. Semestinya, sebelum pemerintah menerbitkan kebijakan ini dilihat kondisi lapangan bahwa swasta mengimpor tes Covid-19 masih tinggi. Dengan demikian, pihak swasta tidak mau menanggung selisih kerugian biaya antara harga yang diinginkan pemerintah dengan harga yang diperoleh saat pengimpornya. Subsidi harus diberikan kepada pemerintah untuk menekan harga tes Covid-19 sekarang. Tingginya tes Covid-19 berakibat ini akan jarang dilakukan masyarakat, kecuali dia mengalami gejala yang bisa berakibat terlambat penanganannya. Ini bisa membumbung tinggi secara nasional. Apalagi, tingkat vaksinasi Covid-19 masih rendah di Indonesia, kecuali Jakarta. Hal mencegangkan bagi Jabar sebagai tetangga ibukota mengalaminya akibat vaksin yang diperoleh masih terbatas. Total vaksinasi dosis pertama mencapai 50.339.337 orang atau naik 353.157 orang, dari angka ini sebanyak 9.351.093 orang terjadi di Jakarta atau naik 31.902 orang. Untuk dosis kedua meraih 31.601.868 orang atau naik 390.946 orang terbagi atas di Jakarta sebesar 4.845.271 orang atau bertambah sebesar 82.364 orang. Dengan begitu ancaman gelombang ketiga kasus Covid-19 masih tinggi di Indonesia. Apalagi, varian Delta sampai saat ini diyakini menularkan secara cepat. Melihat kondisi ini dapat dilihat pelonggaran atau pengetatan PPKM. Apalagi, kenaikan kasus Covid-19 terjadi peningkatan, maka pelonggaran tidak bisa dilakukan, bahkan peningkatan level. Namun, jika kasus Covid-19 menurun bisa dipertimbangkan pelonggaran PPKM. Walaupun demikian, daerah tetangga atau penyangganya mesti dilihat apakah sedang turun atau naik. Apalagi, wilayah di sekitarnya sedang mengalami peningkatan kasus Covid-19, maka pelonggaran PPKM mesti dipikirkan secara matang. Hal yang paling penting apakah data yang tersedia akurat jangan sampai ini disembunyikan pemeintah daerah guna mengejar pencapaian suatu level. Kondisi ini juga bisa diduga akibat banyak warga yang tidak melaporkan kondisi kesehatan hingga kematiannya khawatir stigma dari masyarakat. Khusus vaksinasi Covid-19 juga perlu segera dilakukan bagi warga negara asing (WNA) yang berada di Indonesia. Pasalnya, mereka berpotensi menularkan kepada orang sekitar. Begitupula anak usia 5-11 tahun sudah mulai diteliti apakah sudah waktunya memperoleh vaksin Covid-19. Sebab, jumlah anak yang terpapar Covid-19 juga sebanding dengan angka produktif dan manusia usia lanjut (manula). Pemberian vaksin dosis ketiga (booster) perlu dimasukan dalam roadmap dalam vaksinasi dosis ketiga. Hal ini didasari efikasi vaksin Covid-19 tidak semua tinggi, bahkan ini menurun seiring waktunya. Kampanye protokol kesehatan (prokes) hendaknya tidak hanya dilakukan melalui penyulhan saja, tetapi pemerintah memperbanyak tempat mencuci tangan. Selain itu membagikan masker di tempat yang berpotensi keramaian, dan menyediakan transportasi publik yang dapat dinaiki dengan menjaga jarak. Terakhir, pemerintah mesti menyiapkan cetak biru Covid-19 tidak hanya menjadi pandemi tetapi endemi lantaran ini belum tahu kapan berakhir. Jadi, ini tidak hanya ditangani sebagai masalah kesehatan tetapi perang melawan penyakit kesehatan. (mam)