Kelengahan Tangani Covid-19 Berujung Indonesia Darurat

endemic covid-19
endemic covid-19
Indonesia kembali mengalami lonjakan kasus Covid-19 pada akhir Juni 2021. Bahkan, angka ini terus mengalami ‘pecah rekor’ setiap hari. Sebanyak 21.342 kasus Covid-19 naik di Indonesia pada Minggu (27/6/2021) pukul 12.00 WIB, sehingga sebanyak 2.115.304 kasus ini dialami Indonesia sekarang. Kondisi tadi semakin mengkhwatirkan lantaran ketersediaan tempat tidur di sejumlah rumah sakit sudah penuh, kalaupun tersisa hanya sekitar 20%. Meroket kasus Covid-19 diduga akibat warga semakin tidak disiplin dalam pemakaian masker, menjaga jarak, mencuci tangan, tidak melakukan mobilitas, dan melakukan kerumunan. Dari sisi pemakaian masker, sejumlah warga masih belum menggunakan lantaran ini dianggap tidak akan menularinya. Kalaupun, dia memakainya terlihat dilakukan secara tidak benar akibat pemahaman masih rendah. Kampanye yang dilakukan pemerintah sampai saat ini dipertanyakaan apakah ini sudah sampai diketahui dan dimengerti kalangan bawah dengan merekrut public figure. Langkah ini diketahui hanya berlangsung di layar kaca secara masif. Masker yang dipakai juga tidak memenuhi persyaratan, pemerintah belum memberikan insentif kepada produsen masker untuk memperbaiki pembuatannya. Apalagi, masyarakat belum paham masker yang dibutuhkannya. Menjaga jarak masih sulit dilakukan warga tatkala layanan publik belum menyediakan secara pasti. Banyak angkutan umum belum memberlakukannya akibat supir mengejar setoran. Layanan publik lainnya juga tidak mengenakan jaga jarak saat banyak warga yang membutuhkannya. Bahkan, kegiatan vaksinasi yang bertujuan menambah kekebalan tubuh warga bisa menimbulkan paparan Covid-19 akibat terjadi antrian yang membludak. Mencuci tangan memang banyak area publik yang belum menyediakan, kalaupun ini tersedia tetapi jumlah tidak mencukupi dan di area yang mudah dilihat dan dijangkau warga. Padahal, sebagian besar tidak membawa hand sanitizer lantaran ini masih belum dianggap sebagai suatu kebutuhan mendesak dan keterjangkauan harga. Bahkan, ini dianggap masih merepotkan untuk dibawa setiap orang. Pembatasan mobilitas yang dilakukan pemerintah masih setengah hati dan jauh dari kekompakan dalam penerapannya. Hal ini ditengarai akibat berkompromi dengan ekonomi supaya masih terjadi pergerakan transportasi. Ketika pulang kampung dilarang, tapi ini masih diberikan kesempatan dua minggu sebelum lebaran. Padahal, itu hanya mengeser pergerakan mereka saja. Dengan demikian, pulang kampung masih dilakukan sebagian besar orang. Apalagi, seminggu sebelum lebaran aparat keamanan tidak mampu menahan serbuan para pemudik ke asalnya. Pemahaman satu instansi dengan instansi lain dalam penanganan Covid-19 masih terjadi sampai sekarang. Bagaimana aparat berpikir pulang kampung tidak akan dilakukan masyarakat sebelum dua minggu jelang lebaran. Kerumunan masih terjadi di masyarakat akibat suatu tempat tidak bisa mengantisipasi kemungkinan serbuan warga. Pengelola tempat selalu berpikir setiap hari berjalan normal. Melambungnya kasus Covid-19 juga diduga akibat sejumlah pejabat terlena dengan penurunan menjadi 4.000-an kasus ini sebelum lebaran. Hal ini dipikir lantaran keberhasilan program vaksinasi. Padahal, sejumlah daerah disinyalir mengurangi pemeriksaan tes usap turun sejak awal puasa hingga usai lebaran. Tindakan ini dilakukan pejabat guna menghindari daerahnya dianggap mengalami kenaikan kasus Covid-19. Apalagi, pemeriksaan dilakukan oleh alat buatan Indonesia yang belum teruji secara internasional. Hal ini sekedar mencari keringanan biaya tanpa memikirkan dampaknya pada kemudian hari. Tes antigen masih dianggap sebagai layanan yang tidak terjangkau bagi kalangan bawah. Kondisi ini mesti disikapi pemerintah dengan mengecek apakah harganya setinggi itu dan memberikan subsidi untuk penggunaannya. Kedatangan para imigran yang bakal menjadi suspek Covid-19 juga tidak diantisipasi pihak kedatangan melakukan pemeriksaan secara cermat. Hal ini belum termasuk para penumpang yang menggunakan tes usap palsu. Dengan berbagai kejadian tadi, pemerintah harus berani melakukan tindakan luar biasa untuk sebulan ke depan supaya kenaikan kasus Covid-19 tidak bisa ditangani lagi. Namun, pemerntah diduga tidak memiliki rencana terburuk atas pandemi Covid-19. Salah satu sousi untuk menahan laju kenaikan Covid-19 adalah mobilitas warga yang sudah gagal dilakukan pemerintah pada lebaran lalu. Upaya pembatasan skala mikro saat kasus Covid-19 sudah membludak diperkirakan tidak cepat menanggulangi lonjakan kasus Covid-19. Lihat saja transportasi massal masih penuh dan sejumlah layanan administrasi publik masih harus dilakukan secara tatap muka. Apalagi, tingkat kesembuhan pasien Covid-19 belum sebanding dengan kenaikan kasus setiap hari. Pilihan pembatasan mobilitas secara penuh memang belum bisa dilakukan pemerintah lantaran roda ekonomi mesti berputar untuk memberikan pemasukan tidak hanya bagi negara. Namun, ini juga bagi masyarakat yang mengantungkan penghasilan dari kegiatan yang dilakukan sehari-hari. Pemerintah belum mampu memberikan dana pengganti bagi orang yang tidak melakukan kegiatan untuk mencari pendapatan. Selama ini negara masih terus berhutang untuk memenuhi kebutuhannya. Peningkatan vaksinasi yang dilakukan pemerintah semesti dibarengi dengan pemeriksaan usap supaya yang menerima ini adalah orang yang sehat. Langkah ini sekaligus mendeteksi orang tanpa gejala terpapar Covid-19. Akhirnya, pemerintah harus segera memiliki rencana hidup dengan Covid-19 lantaran Covid-19 membutuhkan waktu penanganannya. Ini tidak bisa dilihat lagi sebagai pandemi, tetapi endemic. Semoga Allah memberikan kekuatan dan petunjuk bagaimana Indonesia dan negara-negara bisa menghadapi dan melalui wabah Covid-19 secara baik. Aamin Ya Rabbal Alamiin. (mam)