SDM dan Manajemen Bus Pariwisata Harus Dibenahi

FB_IMG_1616644591195
FB_IMG_1616644591195
SDM dan Manajemen perusahaan Bus Pariwisata perlu dibenahi agar kejadian kecelakaan lalu lintas yang fatal tidak terulang.  Keselamatan adalah investasi yang semestinya jadi perhatian setiap pelaku bisnis angkutan pariwisata. Gencarnya promosi pengembangan pariwisata di Nusantara jangan sampai menjadikan angkutan pariwisata mengabaikan aspek keselamatan. Kecelakaan Bus Pariwisata PO Sri Padma Kencana di Sumedang, Rabu (10/3/2021) seakan mengagetkan kita setelah dalam setahun terakhir tidak terjadi kecelakaan serupa. Kecelakaan ini di Tanjakan Cae, Kecamatan Wado, Sumedang, Jawa Barat pada Rabu malam menyebabkan 29 orang tewas. Kecelakaan serupa terakhir terjadi pada Senin (24/12/2019), Bus PO Sriwijaya jatuh ke jurang di Liku Lematang, Desa Prahu Dipo, Kecematan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan menyebabkan 35 orang penumpang tewas. Bisnis PO Sriwijaya akhirnya ditutup operasinya. Agar tidak terulang, dilakukan antisipasi mendadak, Dishub setempat dan Polisi mendadak melakukan pemeriksaan sejumlah bus pariwisata di beberapa ruas jalan yang masuk ke daerahnya. Namun, hal seperti ini tidak akan menjadi efek jera bagi pengusaha bus pariwisata abal-abal. Karena hanya pengecekan dokumen, namun tidak ditindaklanjuti dengan temuan lainnya, seperti berapa jumlah armada bus yang dimiliki perusahaan, punyakah tempat penyimpanan kendaraan dan bengkel. Sepertinya, ini upaya yang sia-sia dan akan berulang lagi jika tidak diiringi pembenahan yang komprehensif. Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 117 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek, salah satu syarat untuk  mendirikan perusahaan angkutan umum pariwisata, minimal memiliki 5 armada bus. Batasan minimal tersebut bermakna agar terjaga kerlanjutan bisnis angkutan umum Hal itu sudah diatur Pasal 37, untuk memperoleh izin sebagai angkutan umum, Perusahaan Angkutan Umum harus memenuhi persyaratan (a) memiliki paling sedikit 5 (lima) kendaraan; (b) memiliki/menguasai tempat penyimpanan kendaraan yang mampu menampung sesuai dengan jumlah kendaraan yang dimiliki; dan (c) menyediakan fasilitas pemeliharaan kendaraan (bengkel) yang dibuktikan dengan  dokumen kepemilikan atau perjanjian kerjasama dengan pihak lain Secara umum, faktor utama terbesar penyebab kecelakaan lalu lintas adalah manusia, sarana, prasarana dan lingkungan. Akan tetapi yang sering dibenahi bukan manusianya, baru sebatas aspek sarana, prasarana dan regulasi. Sistem Manajemen Keselamatan (SMK) adalah salah satu pembenahan yang terkait dengan faktor manusia. Jika SMK berjalan dengan baik dan konsisten di semua perusahaan angkutan umum, sudah barang tentu akan turut mengurangi tingkat kecelakaan lalu lintas. Sekarang sudah mulai dilakukan pembenahan SMK tersebut yang targetnya selesai tahun 2025. Mungkin perlu penambahan anggaran dan SDM supaya target bisa lebih cepat lagi selesai. Tahun 2020, salah satu Balai Pengelola Transportasi Daerah (BPTD) di Sumatera bersama Polisi dan PT Jasa Raharja pernah melakukan inventarisasi keberadaan bus pariwisata. Hasilnya, mayoritas bus pariwisata tidak berijin, baik plat kuning maupun plat hitam. Kemudian, para pengusaha itu didorong untuk mengurus perijinan melalui aplikasi SPIONAM juga terganjal kelengkapan dokumen kendaraan. Mayoritas kendaraan bus tersebut berasal dari Pulau Jawa dan ada kartu pengawaspun sudah kadaluarsa. Praktek seperti ini harus segera dibenahi, karena pasti akan berpengaruh pada manajemen keselamatan perusahaan. Pengawasan bus pariwisata di jalan dan di lokasi wisata juga dapat jadi bumerang, karena risikonya harus menyediakan bus pengganti. Akhirnya, operasional bus pariwisata sama sekali tidak terawasi. Termasuk kemajuan atau progres untuk perolehan perijinan membuka usaha bus pariwisata resmi, karena harus penyesuaian terlebih dulu dokumen perusahaan dan kendaraan yang cukup menyita waktu dan biaya. Dampak di lapangan, bus pariwisata beroperasi dengan kondisi seadanya. Sangat minim atau tanpa pengawasan baik dari petugas Ditjenhubdat dengan keterbatasan anggaran, maupun petugas di Dinas Perhubungan di daerah selain anggaran juga merasa bukan kewenangannya. Jika kondisi angkutan pariwisata seperti di atas, tinggallah berdoa jika bus wisata apakah selamat atau tidak saat beroperasi. Sekarang, pemerintah sedang menggencarkan program pariwisata di seluruh pelosok Nusantara. Keberadaan bus pariwisata menjadi salah satu andalan untuk dapat memberikan akses dan membawa pelancong sebanyak mungkin mengunjungi lokasi wisata. Sudah barang tentu, bisnis angkutan umum wisata akan turut meningkat. Kemudahan untuk membuka peluang bisnis angkutan wisata dapat lebih dipermudah. Namun jangan sampai mengabaikan atau menghindari aspek keselamatan. Keselamatan adalah investasi, sehingga memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Dalam penyelenggaraan transportasi, keselamatan mutlak harus dipenuhi tanpa ada kompromi. Kewenangan penyelenggaraan angkutan pariwisata berada di Ditjenhubdat. Sekarang di daerah sudah ada 25 Badan Pengelola Transportasi Daerah (BPTD) di 34 provinsi, sehingga dapat membantu membina dan mengawasi operasional bus pariwisata. Waktu kerja mengemudi Di sisi lain, jika pengemudi kurang istirahat yang cukup, bisa jadi menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas. Dan hal ini akan membahayakan pengguna jalan dan penumpang di dalam bus pariwisata itu sendiri. Masih ditemukan sejumlah pengusaha bus pariwisata tidak memperhatikan jam kerja pengemudi, menyebabkan keselamatan diabaikan. Waktu kerja mengemudi sudah diatur dalam pasal 90 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam pasal tersbut dijelaskan bahwa (1) setiap Perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, (2) Waktu kerja bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum paling lama 8 (delapan) jam sehari, (3) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah mengemudikan Kendaraan selama 4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam dan (4) Dalam hal tertentu Pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12 (dua belas) jam sehari termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam. Selanjutnya, sanksinya di dalam Pasal 92, (1) Setiap Perusahaan Angkutan Umum yang tidak mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Umum dikenai sanksi administratif; (2) Sanksi administratif berupa (a) peringatan tertulis; (b) pemberian denda administratif; (c) pembekuan izin; dan/atau (d) pencabutan izin. Seharusnya, Kementerian Ketenagakerjaan dapat membuat Peraturan Menteri yang mengatur tentang waktu kerja, waktu istirahat dan waktu libur pengemudi. Juga mengatur standar gaji atau honor untuk pengemudi angkutan pariwisata. Ditambah lagi tempat istirahat di lokasi wisata dan menginap pengemudi yang katanya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Perlu dipertegas lagi dengan mengecek setiap lokasi wisata dan penginapan, apakah sudah benar-benar menyediakan tempat istirahat yang layak bagi pengemudi bus pariwisata? Ditjenhubdat harus memeriksa dan menindak perusahaaan angkutan pariwisata abal-abal. Jika perusahaan hanya memiliki satu armada bus, tentunya akan memaksimalkan keuntungan dengan satu bus itu. Bahkan, mengabaikan prinsip-prinsip keselamatan. Surat Ijin Mengemudi dan Pelatihan Pengemudi Selagi Jend. Sulistyo Sigit baru menjabat Kapolri, dapat memasukkan program perbaikan sistem pengujian dan penerbitan Surat Ijin Mengemudi (SIM) bagi pengemudi angkutan umum untuk orang dan barang. Sistem yang diselenggarakan sekarang ini tidak menjamin pengemudi angkutan benar-benar memiliki kompetensi sebagai pengemudi yang memahami tertib berlalu lintas di jalan raya. Sudah saatnya ada pembaruan sistem pengujian dan penertiban SIM tersebut. Pengemudi harus memiliki kecakapan mengemudi kendaraan. Pengemudi angkutan umum yang tidak memiliki kecakapan atau kompetensi memadai cenderung mengabaikan keselamatan berlalu lintas di jalan raya. Pelatihan bagi pengemudi bus pariwisata sangat penting dilakukan sacara rutin. Minimal setahun sekali diadakan pelatihan, penyegaran dan peningkatan kompetensi bagi pengemudi oleh Kemenhub. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Perhubungan dapat ditugaskan menyelenggarakannya. Forum Angkutan Pariwisata Tahun 2018 pernah digagas adanya Forum Angkutan Pariwisata oleh Ditjenhubdat dengan melibatkan para pemangku kepentingan (seperti praktisi, akademisi, komunitas, asosiasi), termasuk sejumlah kementerian dan lembaga (Kemenhub, Kemen. PUPR, Kemenpar, Korlantas Polri, Kemendagri, Kemenaker, Kemendiknas) yang ada di pemerintahan. Sayangnya, hingga kini forum tersebut belum terwujud. Tujuan dibentuknya forum tersebut adalah sebagai wadah untuk mendiskusikan berbagai hal yang berkaitan dengan perkembangan angkutan pariwisata. Dengan adanya forum ini, setidaknya dapat membantu untuk mengurangi masalah berlarut-larut yang belum terselesaikan, sehingga dapat diambil keputusan terbaik. Peran pemda Peran pemerintah daerah sangat penting dalam upaya melindungi warganya terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas. Salah satu caranya, mengingatkan warganya agar tidak menggunakan angkutan pariwisata yang tidak terdaftar di Kemenhub. Terutama sekolah-sekolah yang kerap menggunakan bus pariwisata untuk kegiatan studi tour atau kunjungan ke tempat wisata bersama. Pengurus sekolah cenderung memilih tawaran harga yang murah, bukan mencari memilih yang ada jaminan keselamatan, seperti pengusaha bus pariwisata terdaftar pada portal website SPIONAM Kemenhub, kendaraan sudah lulus uji kir, pengemudi memiliki sertifikat kompetensi. Himbauan dan peringatan tidak menggunakan bus resmi terdaftar di Kemenhub dapat dilakukan oleh Dinas Perhubungan, Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan di daerah. Kewajiban sabuk pengaman Mengenkan sabuk pengaman atau safety belt bagi pengemudi atau penumpang menjadi hal yang wajib. Aturan itu sudah ada di pasal 57 (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Perlengkapan kendaraan roda empat atau mobil wajib ada sekurang-kurangnya terdiri atas sabuk keselamatan, ban cadangan dan segitiga pengaman. Jug wajib membawa dongkrak, pembuka roda serta membawa perlatanan pertolongan pertama pada kecelakaan lalu lintas (P3K). Sesungguhnya, semua penumpang bus umum setiap tempat duduk wajib dilengkapi sabuk pengaman dan penumpang sudah diwajibkan menggunakannya. Tujuannya, agar ketika terjadi kecelakaan yang tidak diduga, fatalitas korban dapat diminimkan. Komite Nasional Keselamatan Transportasi Komiter Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) pada setiap kecelakaan transportasi bertugas melakukan investigasi, memberikan rekomendasi, saran dan pendapat kepada Presiden dalam rangka mewujudkan keselamatan transportasi. Apabila terjadi kecelakaan lalu lintas yang cukup fatal, tentunya KNKT akan memberikan catatan khusus ke berbagai instansi yang berkaitan dengan keselamatan transportasi perihal apa yang harus dilakukan perbaikan, penyempurnaan dan penambahan, supaya kejadian serupa tidak terulang. Instansi yang mendapatkan catatan khusus tersebut janganlah menganggap hal itu sebagai beban kerja. Namun ini adalah kewajiban bersama yang memang harus segera dibenahi agar masyarakat yang bepergian ada jaminan keselamatan bertransportasi. Sudah saatnya keselamatan menjadi kebutuhan kita bersama, sehingga jumlah kejadian kecelakaan lalu lintas dapat ditekan. Dan seandainya ada terjadi kecelakaan lalu lintas tidak sampai ada korban jiwa. Pembenahan harus komprehensif, bukan hanya oleh Kementerian Perhubungan, akan tetapi terkait dengan Kementerian Tenaga Kerja, Polri, Kementerian PUPR, Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif, industri otomotif, ahli otomotif, ahli manajemen transportasi, ahli keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penelusuran penyebab terjadinya kecelakaan di Sumedang jangan berhenti pada keselahan pengemudi dan dijadikan tersangka, walau sudah mendapat SP3, karena pengemudi turut meninggal dunia. Namun harus didalami keterlibatan pengusaha bus pariwisata (PO Sri Padma Kencana) dan pengusaha bus yang menjual armada bus (PO Subur Jaya) ke pengusaha bus pariwisata. Harus ditindaklanjut tuntutan ke ranah hukum. Supaya tidak ada lagi pengusaha mengoperasikan bus pariwisata, tetapi tidak memenuhi persyaratan minimal sebagai pengusaha bus pariwisata. Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat