Revisi UU ITE Untuk Hilangkan Multitafsir

Asfinawati
Asfinawati

Gemapos.ID (Jakarta) - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai revisi UU ITE diperlukan sekarang. Karena, serangan kebebasan berpendapat terjadi melalui UU ITE.

"Terdapat pasal karet dalam UU ITE yang multitafsir, hal ini yang membuat kritik kepada lembaga negara menjadi suatu penghinaan," kata Ketua YLBHI, Asfinawati pada Rabu (17/2/2021). 

Contohnya, Pasal 27 (3) tidak menjelaskan siapa subyek penghinaan. Namun, pasal ini menyebutkan 'setiap orang dengan sengaja dan tanpa tak mendistribusikan dan sebagainya yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Dengan demikian, kritik kepada lembaga negara termasuk pejabat negara jadi masuk ke penghinaan, Kalau KUHP barang siapa menghina orang lain, sehingga hal ini menjadi multitafsirtidak hanya kepada orang tapi lembaga, organisasi, dan simbol-simbol.

Pasal 28 ayat 2 juga dianggap Aasfin sebagai pasal yang multitafsir. Karena, ini tidak menjelaskan maksud dari kata golongan yang bisa menjadi perangkap. "Apa itu golongan jadi keranjang kaya pukat harimau," ujarnya. 

Dirinya juga menilai tugas penindakan dari aparat kepolisian perlu diperbaiki. "Misalnya surat telegram Kapolri juga perlu dicabut, salah satu kunci juga pengawasan penyidik," ucapnya. 

Sebelumnya, Jokowi menyoroti UU ITE lantaran belakangan ini peristiwa saling melapor antarwarga dengan rujukan UU ITE. Belakangan dia melihat semakin banyak masyarakat yang saling melaporkan.

"Ada proses hukum yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan tetapi memang pelapor itu ada rujukan hukumnya antara lain Undang-Undang ITE," ujarnya. 

UU ITE untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif tetapi implementasinya, pelaksanaannya menimbulkan rasa ketidakadilan. 

Jokowi memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk bersikap selektif dalam memilih laporan berdasarkan UU ITE. Dia juga ingin Listyo membuat pedoman interpretasi resmi mengenai pasal yang menjadi rujukan laporan terkuat UU tersebut.