Omnibus Law Sama Dengan UU Cilaka?

dpr
dpr
Demonstrasi penolakan Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker) masih terus terjadi di Indonesia terutama Jakarta sampai Jumat (17/10/2020). Kegiatan ini tidak hanya dilakukan oleh kalangan buruh, tetapi mahasiswa bahkan pelajar. Belakangan lembaga swadaya mahasiswa (LSM) dan organisasi masyarakat (ormas) juga turun ke jalan menyuarakan penolakan yang sama. Tidak ketinggalan para pengamat dan akademi melakukannya melalui berbagai bentuk media. Pemerintah telah mengetahui gelombang aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law, tapi tidak melakukan upaya pendekatan ke semua elemen tadi. Bahkan, dia merasa undang-undang itu terbaik bagi rakyat. Kalaupun berbagai kalangan diajak bicara tentang Omnibus Law selalu dalam kerangka persetujuan harus diberikan atas aturan tersebut. Prinsip saling bermanfaat bagi semua pihak tidak dikedepankan. DPR dan pemerintah bersikukuh Omnibus Law menguntungkan semua pihak lantaran tidak berada di posisi kalangan bawah. Apalagi, mereka tidak mendengarkan suara rakyat. Tidak heran DPR dan pemerintah memaksakan pengesahan Omnibus Law dalam Sidang Paripurna DPR pada Selasa (13/10/2020). Langkah itu terlihat dari tidak menghiraukan masukan dari partai politik (parpol) yang tidak duduk di pemerintahan. Hal yang lebih menyedihkan dtaft Omnibus Law tidak diberikan kepada para anggota DPR yang hadir dalam pengesahan Sidang Paripurna. Bagaimana mungkin wakil rakyat menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan disahkannya/ Dengan demikian, mereka hanya berpegangan pada draft yang beredar di lapangan. Namun, kejadian ini disebut pimpinan DPR dan pemerintah sebagai hoax (kabar bohong). Kalau begitu apa yang bisa menjadi acuan draft Omnibus Law bagi rakyat, sedangkan wakil rakyat saja tidak memilikinya. Tidak heran, Omnibus Law disebut berbagai pihak sebagai UU Cilaka. Apalagi, isi Omnibus Law masih dikutak-kutik setelah pengesahannya oleh DPR dan pemerintah. Padahal, itu melanggar UU yang tidak dihiraukan mereka. Sebelum pengesahan Omnibus Law di Sidang Paripurna DPR tidak hanya dibahas di tingkat komisi. Namun, ini juga dibicarakan dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR sebagai draft final. Argumentasi perubahan Omnibus Law lantaran kertas yang digunakan belum sesuai standar saat Sidang Pafipurna sulit dimengerti. Kejadian ini mengundang komentar, kalau belum siap mengapa pengesahan ini dipaksakan. Bahkan, penggunaan kertas tidak berstandar sebagai draft UU bisa dinilai suatu keteledoran yang bisa diajukan sebagai pelanggaran hukum. Namun, ini tidak dipikirkannya lantaran yang terlintas bagaimana UU ini dapat disahkan secepatnya. Saat pengesahan Omnibus Law di Jakarta hanya terdapat para menteri koordinator, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak berada di tempat. Padahal, banyak kalangan ingin bertemu menyuarakan aspirasinya kepada salahsatu pemilik hak inisiatif UU. Presiden harus menerima kedatangan mereka dan tidak perlu khawatir dengan ancaman keamanannya. Kejadian ini membuktikan kepedulian kepada rakyat tidak diperlihatkannya secara penuh. Hal yang lebih mengherankan lagi penyampaian Omnisbus Law hanya dilakukan oleh Sekretariat Jenderal (Sekjen) DPR yang diterima oleh staf dari Menteri Sekretariat Negara (Sekneg). Padahal, UU ini merupakan UU terbesar yang dibuat DPR dan Pemerintah. Alasan ini hanya bersifat administratif dan DPR sudah masuk massa reses membuat geleng-geleng kepala. Kepedulian akan kepentingan UU kembali tidak diperlihatkan kedua pembuat UU. Untuk menghadapi berbagai kekisruhan Omnibus Law ditawarkan kepada Jokowi bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Kebijakan ini juga bisa dipertimbangkan sebagai jalan tengah dengan para pihak terkait. Namun, Jokowi belum terlihat akan mengelarkan Perppu lantaran sejak awal dia yang menginginkan pengesahan Omnibus Law secepatnya. Hal ini dibuktikan dengan meminta DPR membahasnya selama 100 hari. Padahal, pembahasan Omnibus Law memerlukan waktu lebih panjang dibandingkan UU lainnya. Karena, ini menyatukan puluhan UU dan ratusan pasal. Walaupun, keberadaan Omnibus Law dinilai sebagai jalan keluar membangkitkan ekonomi yang terburuk akibat pandemi Covid-19. Sebab, pembahasan RUU lain saja kadang menghabiskan waktu tahunan untuk membahasnya. Jika DPR dan pemerintah tetap memaksakan pemberlakuan Omnibus Law tinggal ditunggu dampaknya. Apakah ini bisa memulihkan atau memperburuk perkembangan ekonomi. Hal yang dibesar-besarkan dari kehadiran Omnibus Law adalah ini akan mendatangkan investor. Bahkan, ini mengalihkan investor ke Indonesia dari negara-negara lain seperti Vietnam. Kemudian, ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja, bahkan menambah lapangan kerja lantaran kemudahan berusaha. Jadi, ini dinilai tidak mendorong pemutusan hubungan kerja (PHK). Walaupun demikian, serbagai kalangan pesimis dengan pencapaian tadi lantaran kemudahan berusaha telah dirasakan kalangan asing dan pengusaha besar. Kalangan usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang masih merasakan kesulitan berusaha dari sisi perizinan dan permodalan. Lepas itu kita berdoa kepada pencipta negeri ini diberikan petunjuk apa yang terbaik baginya. Amin. (mam)