Nonton G30S/PKI Bagai Panggil Hantu Masa Lalu

Pipit Ambarmirah2
Pipit Ambarmirah2
Gemapos.ID (Jakarta) - Peristiwa G30S/PKI akan terus menjadi momentum bersejarah di Indonesia. Kejadian yang akan menjadi pembelajaran akan sikap-sikap yang menggerus nilai Pancasila. Meski demikian, cucu para aktor sejarah yang terlibat dalam peristiwa tersebut tidak akan mampu menyangkal bahwa ingatan akan selalu membawa mereka kala cerita itu dijadikan film dan acuan sejarah untuk mengenang para tokoh yang berjuang. Sebelumnya, film penayangan G30S/PKI  dibuat pada masa Pemerintahan Soeharto dan diputar pada 1980-an menuai kontroversi di masyarakat. Menanggapi pendapat itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, melalui akun Twitternya menyebut tidak ada larangan maupun kewajiban menonton film tersebut. Namun di sisi yang berbeda, Pipit Ambarmirah, seorang anak yang orang tuanya yang dijebloskan ke penjara tanpa diadili menyusul kekerasan 1965 mengatakan film itu "menghidupkan kembali hantu-hantu masa lalu" Ayah dan ibu Pipit dicap terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) tanpa pernah diadili. Ia mengatakan sekarang masyarakat mudah mengakses informasi untuk mempelajari kebenaran dari kejadian sejarah, namun tetap saja pemutaran film ini akan memberikan dampak. "Karena kan sampai saat ini masyarakat di Indonesia ini persepsinya masih belum berubah. Sekarang saja dengan kemudahan mencari informasi, untuk mencari imbangannya, tak banyak yang melakukannya." Di sisi lain, Juru Bicara Persaudaraan Alumni 212, Haikal Hassan, mengatakan penayangan kembali film Pengkhianatan G30S/PKI penting untuk pelajaran sejarah. Alumni 212 ini termasuk salah satu pihak yang merencanakan untuk menyelenggarakan nonton bersama film ini. kemudian dalam kesempatan yang berbeda cucu-cucu Mayor Jenderal TNI Anumerta DI Pandjaitan, Sifra Panggabean, 30, dan Samuel Panggabean, 24, menceritakan pandangan mereka tentang insiden 55 tahun silam yang merenggut nyawa kakek mereka secara "kejam" Setelah mengajukan banyak pertanyaan kepada orang tua mereka, ahirnya mereka memahami bahwa kakeknya memang meninggal untuk memperjuangkan negara dan Pancasila. Kejadian ini membuat mengerti bahwa Pancasila perlu dijaga. "Semenjak saya dewasa, saya mengerti peristiwa ini adalah peristiwa yang sangat berbahaya dan betapa tujuh pahlawan revolusi itu mencintai dan memegang teguh Pancasila," kata Sifra. Dalam peninggalan penumpasan pahlawan bersejarah Indonesia tersebut, Hasim As'ari masih menyimpan pedang yang digunakan menggorok leher orang-orang yang dituduh anggota PKI di Blitar selatan itu pernah menghiasi dinding di salah-satu sudut ruang tamunya. Ia menempatkannya  di dekat pintu ruang tamu di rumahnya di Desa Bacem, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, selama bertahun-tahun. Di mana di sekitar 1968, Hasyim adalah aktivis Ansor - organisasi kepemudaan di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU). "Pedang itu menjadi alat untuk eksekusi orang-orang PKI," kata sang anak, Farida Masrurin menghela napas panjang, saat saya temui di rumahnya, awal September lalu.  Farida bersama suami dan putrinya yang berusia 10 tahun, sampai saat ini tinggal di rumah orang tuanya di Desa Bacem, Kabupaten Blitar - dulu secara sederhana disebut kawasan Blitar selatan.