Radikalisasi Terjadi di KPK Era Firli Bahuri

Busyro Muqoddas
Busyro Muqoddas
Gemapos.ID (Jakarta) - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menilai setahun pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 19 tahun 2019 tentang Revisi UU KPK menyebabkan lembaga tersebut kehilangan independensinya "KPK tidak lebih dari aparat pemerintah, pegawai KPK jadi aparatur sipil negara (ASN) seperti pegawai negeri, karena pasti terjadi benturan kepentingan politik dan bisnis berselingkuh secara terbuka," katanya dalam diskusi virtual 'Merefleksi satu tahun Revisi UU KPK, Mati Surinya Pemberantasan Korupsi' pada Senin (21/9/2020). Radikalisasi terjadi di KPK dengan penempatan perwira-perwira tinggi Polri yang mengakibatkan kelumpuhan. Bahkan, kooptasi terjadi pada era Ketua KPK Firli Bahuri. "Sikap pasif pimpinan KPK juga ditunjukkan terhadap skandal korupsi tertinggi, yaitu dalam kasus Djoko Tjandra," ujarnya.  Selain itu terlihat dari oligarki bisnis dan politik yang mengancam pembongkaran aktor-aktor utama mega kasus korupsi yang ditangani KPK. Hal itu seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Meikarta, eks komisaris KPU, reklamasi pantai DKI Jakarta, Bank Century, dan e-KTP. Sementara itu Busyro tidak yakin Dewan Pengawas (Dewas) KPK akan merekomendasikan Ketua KPK Firli Bahuri mengundurkan diri. Karena dia dinyatakan melakukan pelanggaran kode etik menyewa helikopter mewah.  Walaupun, seorang komisioner KPK dapat diberhentikan akibat dia melakukan perbuatan tercela. Hal ini merupakan salahsatu dari pelaggaran kode etik. "Kalau Dewas 'clear' menyatakan Firli Bahuri melakukan pelanggaran berat dan bagian perbuatan tercela, maka kualifikasinya terpenuhi dan cukup untuk pemberhentian seorang komisioner KPK," kata Staf Pengajar Hukum Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar. (m1)