Indonesia Darurat Masker

masker tiga dimensi
masker tiga dimensi
Mengapa? Sebagian besar masyarakat di Tanah Air belum menggunakan masker sampai sekarang. Padahal, pemakaian masker merupakan salahsatu upaya pencegahan penularan Corona Virus Disease 2019/Covid-19 (Virus Korona). Bahkan, ini telah menjadi protokol kesehatan (prokes) Covid-19 yang harus dijalankan semua orang tidak hanya di Indonesia, tetapi ini juga berlangsung di dunia. Tingkat kesadaran masih rendah dari masyarakat atas pemakaian masker terlihat dari 3.022 orang yang terjaring dalam Operasi Yustisi oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Kebjiakan ini sebagai bagian dari pemberlakuan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Total oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pada hari pertama atau 14 September 2020. Polri kehabisan akal untuk memaksa masyarakat memakai masker dengan menggunakan jasa preman dalam Operasi Yustisi. Hal ini dikhawatirkan tidak membuat masyarakat menggunakan masker, tapi ini akan berakibat tindakan kekerasan di masyarakat. Sebelumnya, TNI Angkatan Darat (AD) telah dilibatkan pemerintah untuk membantu Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja (PP) untuk memaksa masyarakat menggunakan masker, tapi ini tidak membuahkan hasil. Padahal, pucuk pimpinan TNI AD telah dijadikan Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19. Pada awalnya, pemakaian masker hanya ditegakkan oleh Satpol PP saja. Tingkat kesadaran masyarakat dalam menggunakan masker masih tergolong rendah akibat ini belum disuarakan oleh semua pejabat pemerintah. Itu hanya dilakukan oleh Juru Bicara Percepatan Penanganan Covid-19 pada waktu lalu yang telah dibubarkan sekarang. Kejadian ini berlanjut sampai sekarang hanya digaungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sebagian kecil pejabat saja. Itu tidak dilakukan oleh semua pejabat pusat hingga pejabat daerah berlanjut ke tingkat kelurahan, bahkan RW dan RT sebagai perpanjangan tangan pemerintahan di masyarakat. Selain itu mereka juga tidak memperlihatkan sekaligus mengkampanyekan bagaimana menggunakan masker yang baik. Ini ditunjukkan dengan mereka memakai masker hanya menutupi hidung saja, padahal hidung dan mulut mesti tertutupi, bahkan mata hingga semua wajah direkomendasikan tertutup oleh face shield. Belum lagi sejak awal penggunaan masker diumumkan pemerintah hanya untuk orang yang sakit, sedangkan orang yang sehat tidak diwajibkan. Kejadian ini berakibat pandangan sebagai orang tidak memperoleh pembaruan informasi bahwa Covid-19 bukanlah suatu penyakit yang berbahaya sampai sekarang. Apalagi, sebagai masyarakat menilai Covid-19 bukan suatu penyakit, tetapi ini sebagai suatu konspirasi global untuk menakut-nakuti dunia termasuk Indonesia untuk panik akan kejadian tadi. Selain itu mereka berpikir obat anti dan vaksin Covid-19 telah ditemukan pemerintah. Padahal, ini masih membutuhkan proses panjang lantaran ini belum selesai tahap uji klinis dan diproduksi secara massal. Begitupula obat anti dan vaksin Covid-19 yang diimpor dari luar negeri membutuhkan waktu sampai di Tanah Air. Bahkan, distribusi ini mengalami kondisi serupa sampai masyarakat. Peningkatan kasus Covid-19 yang tidak terkendali memaksa orang harus menggunakan masker. Sebab, penyakit ini tidak hanya menyebar melalui berbagai benda di lingkungan sekitar, tetapi lewat udara terbuka dan tertutup. Kejadian tersebut juga kembali memaksa pemberlakukan penerapan PSBB Total oleh Pemprov DKI Jakarta sejak 14 September 2020. Padahal, ini telah dilonggarkannya menjadi PSBB Transisi sejak 5 Juni 2020. Selain itu anggapan masker tiga lapis hanya perlu dipakai oleh orang yang terpapar Covid-19 dan tenaga kesehatan (nakes) yakni dokter dan perawat. Kini masker bedah juga wajib dipakai semua orang akibat Covid=19 mampu menembus masker biasa. Masker tiga lapis tidak hanya terdapat sekali pakai, tapi ini jga tersedia untuk pemakaian berulangkali yang telah dibersihkan sebelumnya. Namun, sebagian masyarakat belum mengetahui masker tiga lapis akibat mereka hanya memakai masker satu lapis saja selama ini Dengan demikian, di banyak pasar hanya terdapat masker satu lapis, sehingga masker tiga lapis bisa seharga tiga kali lipar ketimbang masker satu lapis. Peristiwa ini terjadi akibat produsen tidak membuat secara massal dibandingkan masker satu lapis. Mereka mengira masker tiga lapis belum perlu dipakai semua orang dan ini hanya dibeli oleh sebagian orang kecil. Apalagi, sejak awal pembuatan masker tidak dibina dan distandarisasi kesehatan Covid-19 oleh pemerintah. Sekarang pemerintah memberlakukan pemakaian masker tiga lapis secara tiba-tiba kepada masyarakat. Pemerintah tidak menyiapkan ketersediaan ini di pasaran apabila itu diberikan kepada masyarakat secara cuma-cuma. Sebagian orang yang masuk golongan menengah ke atas bisa memperoleh secara mudah. Namun, itu sebaliknya bagi kalangan menengah ke bawah yang masih berjibaku dengan makanan, pakaian, dan tempat tinggal saat krisis pendapatan. Pemerintah perlu memberikan insentif kepada semua usaha yang memproduksi masker tiga dimensi supaya harga bisa lebih terjangkau. Hal ini juga bisa diberikannya sebagian bagian dari bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat terdampak Covid-19. Semoga semua masyarakat menyadari keperluan pemakaian masker tidak akibat penegakan hukum, terapi itu dari diri sendiri. Selain itu pemerintah bisa memberikan kemudahan masyarakat memperolehnya. (mam)