Eksekusi Kasus Cessie Bank Bali Tak Transparan?

antasari azhar
antasari azhar
Gemapos.ID (Jakarta) Mantan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Antasari Azhar mempertanyakan uang senilai Rp546 miliar yang menjadi barang bukti dalam kasus korupsi cessie (hak tagih) Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra. Karena, uang itu telah disita pada 2009 yang dititipkan ke rekening escrow account di Bank Permata. “Apakah itu sudah dieksekusi atau belum,” katanya di Jakarta pada Jumat (21/8/2020). Antasari menyayangkan kasus korupsi cessie (hak tagih) Bank Bali berujung karut marut. Eksekusi putusan pengadilan kasus ini terutama barang bukti uang yang disita penyidik harus dibuatkan berita acaranya yang memuat siapa yang mengeksekusi putusan tersebut. “Kalau sudah dieksekusi kok tidak ada transparansinya? Eksekusi itu disita untuk negara, bukan untuk dibagi-bagi dan saya secara moral juga merasa tuntas kasus ini,” jelasnya. Eksekutor putusan pengadilan kasus korupsi cessie Bank Bali pada tingkat pertama disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Untuk mengetahui apakah putusan pengadilan itu sudah dieksekusi lengkap dengan berita acaranya, maka kepolisian bisa meminta keterangan kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. “Siapa kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan waktu itu, tinggal dipanggil. Kalau menunjuk petugas, siapa petugasnya," tegasnya. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 2009 dijabat oleh Setia Untung Arimuladi. Setia Untung kini menjabat sebagai Wakil Jaksa Agung. Sebelumnya, Antasari hadir memenuhi panggilan penyidik Mabes Polri untuk memberi keterangan mengenai duduk perkara korupsi cessie Bank Bali. Keterangan Antasari dibutuhkan lantaran dia menjadi penyidik sekaligus menjadi jaksa penuntut umum dalam kasus tersebut pada 1999. Kasus ini mulai disidangkan pada 2020 dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Djoko Tjandra dari segala tuntutan. Setelah itu Antasari mengajukan memori kasasi dan pada 2001 Mahkamah Agung menolak kasasi jaksa penuntut umum dengan putusan yang tidak bulat. “Saya memang diminta untuk ajukan peninjauan kembali (PK) waktu itu oleh pimpinan Kejaksaan Agung, tapi saya nggak mau karena berdasarkan KUHAP, PK hanya untuk waris dan terpidana," tegasnya. (moc)