Industri Manufaktur Digenjot Untuk Perekonomian Nasional

Mndag
Mndag
Pemerintah semakin fokus menggenjot kinerja industri manufaktur sebagai salah satu motor penggerak ekonomi nasional. Berbagai langkah strategis telah dijalankan guna meningkatkan daya saing sekaligus memperkuat strukturnya. “Tidak salah apabila pemerintah sekarang fokus untuk menumbuhkembangkan sektor industri manufaktur,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pada Jumpa Pers Kementerian Perindustrian tentang ‘Kinerja Tahun 2019 dan Outlook Pembangunan Industri Tahun 2020’ di Jakarta, Senin (6/1/2020). Kememperin optimistis terhadap kinerja industri manufaktur pada 2020 masih tumbuh positif. Walaupun, kondisi global belum pasti. “Untuk pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) industri pengolahan nonmigas pada 2019, kami perkirakan sebesar 4,48%-4,60%,” ujarnya. Pada 2020 diproyeksi bisa menyentuh 4,80%-5,30%. Target peningkatan tersebut seiring dengan melonjaknya produktivitas sejumlah sektoral melalui penambahan investasi. “Kami juga terus mendorong terkait jaminan ketersediaan bahan baku sehingga adanya keberlanjutan produktivitas. Hal ini menjadi salah satu upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif,” ujarnya. Agus meneruskan kontribusi PDB industri pengolahan nonmigas terhadap total PDB pada 2019 diperkirakan 17,58%-17,70%. Pada 2020, kontribusi tersebut bakal menanjak menjadi 17,80%– 17,95% seiring dengan pertumbuhan PDB industri pengolahan nonmigas. “Selama ini sektor industri memiliki peranan yang strategis karena konsisten memberikan kontribusi terbesar pada perekonomian nasional. Apalagi, aktivitas industri membawa efek ganda yang luas bagi peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja lokal, dan penerimaan devisa dari ekspor,” paparnya. Dengan begitu pemerintah gencar menarik investasi, khususnya bagi sektor industri yang berorientasi ekspor, menghasilkan produk substitusi impor, berbasis teknologi tinggi, dan sektor padat karya. Nilai investasi pada akhir 2019 tercatat sebesar Rp188,8 triliun–Rp204,6 triliun. Angka ini pada 2020 investasi sektor industri ditargetkan menyentuh Rp307 triliun-Rp351 triliun. “Hal itu perlu didukung dengan penyelesaian kendala investasi dan kepastian berusaha dengan pemangkasan regulasi melalui RUU Omnibus Law yang saat ini sedang terus dimatangkan pembahasannya oleh pemerintah,” tuturnya.   Seiring peningkatan investasi pada sektor industri, tren penyerapan tenaga kerja juga terus bertambah. Hal ini terlihat pada kurun waktu 2015 hingga Agustus 2019, jumlah tenaga kerja sektor industri sudah mencapai 18,93 juta orang. “Pada tahun 2020, jumlah tenaga kerja sektor industri diperkirakan sebanyak 19,59 juta-19,66 juta orang,” ucapnya. Era industri 4.0 yang membawa perubahan pada peningkatan ekonomi berbasis digital, akan mampu menyerap banyak tenaga kerja baru. Hal ini terutama memanfaatkan bonus demografi yang sedang dialami oleh Indonesia hingga 2030. Guna memfasilitasi investasi yang masuk di Tanah Air, Pemerintah memprioritaskan penyebaran industri ke luar Pulau Jawa, salah satunya melalui pengembangan kawasan industri prioritas. Pada 2020-2024 sebanyak 27 kawasan industri prioritas direncanakan, yaitu 14 di Pulau Sumatera, enam di Kalimantan, satu di Madura, satu di Jawa, tiga di Sulawesi dan Kepulauan Maluku, satu di Papua, serta satu di Nusa Tenggara Barat (NTB). “Pemerintah tengah mengawal beberapa investasi besar sektor industri dari Taiwan dan Amerika Serikat, antara lain CPC Corporation (Taiwan) di sektor industri petrokimia, LiteMax (Taiwan) di sektor industri elektronika dan Smart City, Taiwan Sugar Corp (Taiwan) di sektor industri gula, dan UNICAL (AS) di sektor industri dirgantara,” urainya. Agus meneruskan industri manufaktur sebagai sektor yang menyumbang paling besar ekspor nasional. Sepanjang Januari-Oktober 2019, ekspor ini mencapai sebesar US$105,11 miliar. Tiga sektor yang menjadi kontributor terbesar terhadap nilai ekspor tersebut, yakni industri makanan dan minuman sebesar US$21,73 miliar, industri logam dasar sekitar US$14,64 miliar, industri tekstil, dan pakaian jadi sebesar US$10,84 miliar. “Sektor industri terus didorong untuk mampu meningkatkan nilai ekspor nasional melalui peningkatan daya saing produk industri maupun perluasan pasar ekspor ke negara-negara tujuan ekspor baru,” jelasnya. Kemenperin memproyeksikan, pada 2019, ekspor produk industri menyentuh US$123,7-US$129,8 miliar. Pada 2020, ekspor produk industri diproteksikan bakal menembus US$136,3-US$142,8 miliar. “Industri pengolahan juga merupakan sektor yang berkontribusi besar terhadap penerimaan pajak. Sampai triwulan III 2019 kontribusi ini mencapai 29,23% dari penerimaan pajak neto nasional sebesar Rp245,60 triliun. Agus mengemukakan untuk melaksanakan program pembangunan industri terdatujuh tantangan yang dihadapinya. Pertama, kekurangan bahan baku seperti pat kondensat, gas, naphta, biji besi. Kedua, kekurangan infrastruktur seperti pelabuhan, jalan, dan kawasan industri. Ketiga, kekurangan utility seperti listrik, air, gas, dan pengolah limbah. Keempat, kekurangan tenaga terampil dan supervisor, superintendent. Kelima, tekanan produk impor. Keenam, limbah industri seperti penetapan slag sebagai limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) spesifikasi yang terlalu ketat untuk kertas bekas dan baja bekas (scrap) menyulitkan industri. Tujuh, Industri Kecil dan Menengah (IKM) masih mengalami kendala seperti akses pembiayaan, ketersediaan bahan baku dan bahan penolong, mesin peralatan yang tertinggal, hingga pemasaran.\ “Terhadap berbagai tantangan yang dihadapi tersebut, saat ini kami terus melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikannya, termasuk selalu berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait,” tuturnya. Untuk mewujudkan agenda pembangunan jangka menengah sesuai Rancangan Pembanguna  Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menetapkan berbagai program prioritas jangka pendek (quick wins). Di bidang perekonomian, terdapat 15 program prioritas, di mana Kemenperin turut terlibat dalam 13 program antara lain Implementasi Mandatori B-30 dan Perbaikan Ekosistem Ketenagakerjaan. Berikutnya, Jaminan Produk Halal, Pengembangan Litbang Industri Farmasi, dan Penguatan Trans Pacific Petrochemical Indotama. Selanjutnya, Perubahan Kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Penerapan Kartu Pra Kerja. Kemudian, Pengembangan Kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK) dan Gasifikasi Batubara. Terakhir, Perjanjian Investasi Indonesia-Taiwan, Pengembangan Hortikultura Berorientasi Ekspor, dan Green Refinery di Plaju, Sumatera Selatan, serta Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. (mam)