Mengontrak Bagi Hasil Potensi Kelautan Indonesia

pengamat laut
pengamat laut
Sir Walter Raleigh seorang bangsawan Inggris pada abad XV sudah mengatakan, “Supremasi di lautan adalah dasar dan kekuasaan. Barang siapa menguasai lautan akan menguasai perdagangan, akan menguasai kekayaan dunia, dan akhirnya menguasai dunia itu sendiri.” Oleh karena itu Inggris punya ‘life line of the British Empire’ sehingga kekuatan Inggris di lautan pada masa lalu hingga sekarang tak ada yang boleh meremehkan. Selain Raleigh, ada tokoh yang lain yang tak boleh dilupakan seperti Alfred Tayer Manahan (yang hidup pada 1860-1914. Dia adalah Laksamana Laut dari Amerika Serikat, Selain itu Alfred merupakan guru besar dalam bidang kemaritiman dan geostrategi pada Naval War College di New Port. Dia mengemukakan sejarah utama bagi kekuasaan dunia adalah kemampuan pengawasan di laut (control of the sea). Alfred juga ‘merumuskan’ langkah-langkah untuk ‘mengalahkan’ Inggris di laut, kongkritnya dengan penguasaan Hawaii (untuk menguasi Pasifik) dan Karibia serta membuat terusan Panama untuk menghubungkannya ke Antlantik. Lain zaman dulu, lain pula paradigma soal penguasaan maritim (kelautan) di zaman sekarang. Suatu majalah Volume II Juli 2018 pernah mengungkap berita bertema ‘Menatap Potensi Ikan Laut’ dengan menurunkan laporan tentang Delapan Negara Eksportir Produk Perikanan Terbesar di dunia pada 2017 sebagai berikut :
  1. China sebesar US$22,8 miliar
  2. Norwegia sebesar US$ 11, 7 miliar
  3. Vietnam sebesar  US$ 7,7 miliar
  4. India sebesar US$ 7,6 miliar
  5. Chile sebesar US$ 6,3 miyar
  6. Thailand US$ 6 miliar
  7. Amerika Serikat US$5,9 miliar
  8. Kanada US$5,4 miliar
Sayangnya, Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelago State) yang memiliki 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 99.000 kilometer (km) atau nomor dua di dunia. Wilayah lautan Indonesia terdiri atas 300.000 km2 (5,17 %) laut territorial, 2.800.000 km2 (48,28%) wilayah perairan kepulauan, dan 2.700.000 km2 (46,55%) adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Wilayah perairan laut Indonesia merupakan salah satu wilayah yang paling kaya biota lautnya di dunia, terutama ikan, ironisnya belum masuk ke dalam daftar tersebut. Negara ini juga belum sampai pada keadaan yang dikatakan Raleigh atau Manahan, mengapa ya? Betul kata Jokowi,”Kita selama ini memunggungi laut.” Kita selama ini asyik-masyuk dengan mengeksploitasi daratan habis-habisan. Tambang, kebun, pertanian, industri kehutanan, manufaktur, perdagangan, infastruktur, dan properti “tumplek blek” di daratan konon hanya sepertiga dari luasan wilayah territorial negara Indonesia, sementara 2/3 wilayah Indonesia masih ditelantarkan. Menurut ahli kelautan, potensi kekayaan kelautan dan perikanan ini sangat besar (konon bisa mencapai Rp2.800 triliun/ tahun), tetapi saat ini dari data Kementerian Keuangan (Kemenkeu_ pada 2017 ternyata baru bisa memberikan sumbangan penerimaan negara sebesar Rp1,08 triliun. Sementara itu penerimaan negara dari minyak dan gas (migas) cenderung mengalami declining pada 2018 sebesar Rp228 triliun. Angka ini terdiri atas Rp163,4 triliun atau 72% adalah Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), sedangkan Rp64,7 triliun atau 28% adalah Pajak Penghasilan (PPh). Berangkat dari fakta itu tidak ada salahnya bila potensi kelautan kita bisa dikelola dengan skema Production Sharing Contract/PSC (Kontrak Kerja Sama/Bagi Hasil) seperti yang diterapkan dalam Tata Kelola Kekayaan Alam Minyak dan Gas Bumi. PSC adalah sebuah skema asli Indonesia dengan kearifan lokal Nusantara yang digagas oleh Bapak Pendiri Republik Indonesia, Bung Karno. Hal ini diterjemahkan dan dipraktekan oleh Ibnu Sutowo yang diikuti oleh negara-negara lain di dunia. Suatu prinsip dalam PSC adalah sumber kekayaan alam tetap dalam kepemilikan (penguasan) negara dengan melibatkan insitusi bisnis sebagai kontraktor negara. Jadi, ini menjalankan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Selanjutnya, pengelolaan laut dengan konsep PSC tidak merugikan nelayan tradisional, karena ini hanya memberlakukan di zona-zona tangkapan ikan  yakni ZEE yang tidak mampu dijangkau oleh kapal-kapal nelayan tradisional yang rata-rata berukuran di bawah 30 Gross Ton. Kita tidak berdosa kepada Djuanda dan Mochtar Kusuma Atmadja yang bersusah payah memperjuangkan klaim teritori sebagai negara kepulauan dan batas kontinen. Andai saja konsep ini dijalankan niscaya kehebohan di Natuna Utara, maka ini bisa menghindari konflik dengan China. (Didik Sasono Setyadi merupakan seorang pengamat kelautan)