60% Guru Tidak Siap Mengajar Daring

Enggartiasto Lukito
Enggartiasto Lukito
Gemapos.ID (Jakarta) Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI), menyatakan sebanyak 60% tenaga pendidikan atau guru di Indonesia tidak siap menggelar kegiatan belajar mengajar (KBM) secara jarak jauh atau daring di masa pandemi Cor0na Virus Disease 2019/Covid-19 (Virus Korona). Hal ini terjadi akibat keterbatasan ketersediaan internet dan berbagai peralatan. "Kitidaksiapan guru tersebut disebabkan kemampuan para guru dan konektivitas kegiatan belajar mengajar jarak jauh ini tidak semuanya sama di Indonesia," kata Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI), Enggartiasto Lukito dalam webinar bertajuk 'Guru Digital vs Pandemi: Menyoal Kompetensi Guru Era Digital' yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) pada Sabtu (5/7/2020). Selain itu banyak guru yang tidak siap melakukan pengajaran secara online yang disebabkan sarana dan prasarana untuk menggelar kelas jarak jauh tersebut yang belum terpenuhi. Guru-guru tidak dipersiapkan untuk itu sehingga kesenjangan kemampuan dan akses teknologi pun jadi sangat jelas terjadi antara kota besar dan pelosok dan ini akan kian memperbesar kesenjangan pendidikan antara kota besar dan daerah. Para guru tidak bisa disalahkan dalam hal ini, karena ada beberapa guru yang melakukan hal-hal yang tidak tepat, hanya sekedar memberikan tugas dan sebagainya. "Panduan mengenai penyesuaian kurikulumnya, silabusnya, dalam kondisi ini, belum terpublikasi, belum merata di seluruh daerah sehingga tidak ada pilihan bagi guru untuk hanya sekedar memberikan tugas-tugas saja, karena tidak tahu apa yang harus dilakukan," ujarnya. Pada era Revolusi Industri 4.0 ini, katanya, semua sudah mempersiapkan diri dalam berbagai aspek untuk melakukan digitalisasi, namun dengan pandemi ini, terjadi lompatan untuk mengaplikasikan berbagai hal terutama dari segi informasi teknologi. "Kementerian Pendidikan inilah yang harus memberikan arah kepada seluruh guru," ujarnya. Enggar mengatakan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) seharusnya memiliki peranan melalui penugasan Kementerian Pendidikan, untuk bisa mempersiapkan para guru menghadapi kondisi pandemi ini, dengan satu panduan yang jelas. "Kami berpendapat bahwa LPTK adalah memang lembaga pendidikan tinggi yang dikhususkan untuk itu. Kami mohon ini bisa juga direalokasikan anggaran untuk itu," ujarnya. Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, mengemukakan dirinya sempat kecewa dengan Kementerian Pendidikan RI yang tidak memberikan perhatian besar pada LPTK. Padahal, ini seharusnya tercantum secara jelas dan komprehensif dalam road map atau Peta Jalan Pendidikan Indonesia. "Semenjak Peta Jalan Pendidikan itu disampaikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadiem Makarim dua bulan yang lalul, namun belum mencantumkan secara eksklusif di Peta Jalan Pendidikan ini adalah soal LPTK," tukasnya. Objek kedua yang disoroti dalam Peta Jalan Pendidikan itu, kata Syaiful Huda, adalah soal penyelesaian masalah guru honorer. Isu soal guru honorer yang sejak puluhan tahun lalu belum terselesaikan, diminta diselesaikan di periode ini dan minimal, pemerintah menyelesaikan permasalahan guru honorer di sekolah negeri dulu yang berjumlah sekitar 800 ribu orang. Ketiga adalah soal guru penggerak. Sampai lima tahun yang akan datang, ditargetkan sekitar 100 .000 guru penggerak dicetak. Kemudian, program generasi baru guru, ditargetkan sekitar 200.000 sampai pada tahun 2025. Keempat, penambahan porsi pengelolaan yang lebih besar dari Kemendikbud di dunia pendidikan, termasuk bisa berkolaborasi efektif dengan pemerintah daerah terutama dinas pendidikan provinsi dan kabupaten kota yang memang secara amanat undang-undang pemerintah daerah merekalah yang punya hak menyelenggarakan pendidikan di daerah. Kelima, optimalisasi anggaran pendidikan yang mencapai 20% APBN atau setara dengan Rp580 triliun karena sekitar Rp200 triliun untuk fungsi pendidikan, sisanya Rp380 dialokasikan untuk hal lain. (ant/din)