‘Parcel Lebaran’ dari BPJS Kesehatan

Kertu JKN
Kertu JKN
Jelang Idul Fitri biasa berbagi sudah tidak aneh lagi lantaran ini sebagai ajaran agama, tapi ini sudah sebagai budaya. Namun, kali ini berbeda masyarakat mendapat 'parcel' (bingkisan) kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari Badan Penyelengaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali membuat kebijakan kontroversial, kali ini menyetujui kembali iuran Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai Juli 2020. Langkah itu dilakukan dengan dasar hukum penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020. Isinya ialah iuran JKN dinaikkan pemerintah bagi peserta mandiri golongan pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP). Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp150.000 dari saat ini Rp80.000 dan kelas II meningkat menjadi Rp100.000 dari saat ini sebesar Rp51.000. Untuk iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp25.500 menjadi Rp42.000, pemerintah hanya memberikan subsidi Rp16.500 untuk kelas III, sehingga yang dibayarkan tetap Rp25.500. Dari hal ini sebagian orang mempertanyakannya lantaran besarannya hampir dua kali lipat atau hanya berkurang sedikit dibandingkan kenaikan sebelumnya. Selanjutnya, kenaikan sebesar itu tidak disebutkan apa dasar perhitungannya dan untuk apa saja. Padahal, selama ini BPJS Kesehatan belum mengungkapkan laporan keuanganya termasuk penggunaan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan iuran peserta secara jelas. Selain itu apa bentuk kongkret dari kenaikan iuran JKN bisa meningkatkan layanannya, untuk mendapatkan layanan ini saja harus berjenjang dan tidak semua ditanggung oleh penyedia layana kesehatan. Bahkan, pengguna JKN kadang terpinggirkan dibandingkan asuransi kesehatan lain dan pembayar sendiri atas suatu layanan kesehatan yang diterimanya. Malahan, BPJS Kesehatan tidak diketahui apakah sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau oleh auditor independen dari swasta? Sebenarnya, kenaikan sebelumnya juga tidak didasari pertimbangan tersebut hanya disebutkan BPJS Kesehatan kesulitan keuangan dan pemerintah belum bisa menyuntikan dana kembali dari APBN. Tidak Peka Kenaikan iuran JKN dikomentari sebagian pihak dinilai tidak memikirkan kondisi ekonomi yang dialami masyarakat sekarang dampak Corona Virus Disease 2019/Covid-19 (Virus Korona). Sebagian pejabat negara meminta pemakluman atas kenaikan ini demi menyelamatkan dan kelangsungan BPJS Kesehatan. Bagaimana masyarakat yang sudah tidak punya pendapatan sekarang, jangankan untuk iuran JKN untuk biaya kehidupan sehari-hari seperti makan, minum, dan tempat tinggal sudah kesulitan. Apakah mereka harus berhenti mengikuti kepesertaan JKN? Sebagian pejabat menjawab apabila sudah tidak mampu mengikuti kepesertaan kelas I dan kelas II, maka dapat mengajukan penurunan ke kelas III. Sungguh jawaban yang terkesan mengampangkan saja tanpa analisa yang kuat. Sebagian besar mereka mengikuti kepesertaan kelas I dan kelas II lantaran dibiayai oleh perusahaannya ketika masih bekerja, tapi mereka terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sekarang. Selain itu mereka mendaftarkan diri kelas I dan kelas II guna memperoleh layanan yang lebih baik, kadang layanan kelas III sering sudah tidak bisa diberikan para penyedia layanan kesehatan. Dengan demikian, presiden harus berpikir ulang menaikkan iuran JKN lantaran ini tidak hanya diikuti oleh kalangan bawah saja, tapi ini juga diikuti oleh kalangan menengah ke atas yang terdampak menjadi masyarakat rentan miskin sekarang. Apalagi, kenaikan iuran JKN yang termuat dalam Perpres No. 82/2018.telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusan Nomor 7/P/HUM/2020. Namun, ini tidak dihiraukan oleh presiden dengan mengakalinya menurunkan sedikit iuran JKN melalui perpes baru. Pemakzulan Sebagian besar pengamat hukum tata negara menanggapinya presiden dinilai melanggar hukum dan tidak menghormati putusan lembaga peradilan (yudikatif). Dari hal ini presiden bisa diusulkan oleh DPR untuk pemakzulan. Tidak banyak anggota DPR yang bersuara atas kebijakan ini dan cenderung datar saja termasuk Ketua DPR dan Ketua MPR. Apalagi, pimpinan partai politik (parpol) sebagian besar membisu. Apa ini akibat mereka sedang terdampak Covid-19, sehingga mereka tidak memikirkan nasib rakyat yang berada di pundaknya atau kebijakan itu tidak mengenai dirinya, sehingga tidak bersuara lantang. Kalaupun bersuara lantang dinilai tidak cukup tanpa suatu aksi dilakukan dengan memanggil BPJS Kesehatan dan Menteri Keuangan untuk mempertanyakan persoalan ini dan mencari jalan keluarnya. Semoga ada solusi atas persoalan ini dan presiden bisa lebih bijak melihat suatu masalah ketimbang memikirkan untuk kepentingannya sendiri. (mam)