LHKPN, Alat Kontrol Harta Wakil Rakyat

Ilustrasi laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).  (ant)
Ilustrasi laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). (ant)

Gemapos.ID (Jakarta) - Laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) seyogianya menjadi salah satu persyaratan bakal calon anggota legislatif (bacaleg) pada pemilihan umum (pemilu).

Dengan demikian, publik akan tahu seberapa besar harta kekayaan mereka sejak bacaleg, wakil rakyat, hingga masa berakhir sebagai anggota legislatif. Rekam jejak LHKPN ini bisa dicek publik ketika buka laman elhkpn. kpk.go.id.

Setelah itu, klik menu e-Announcement, lalu masukkan nama, tahun pelaporan, dan lembaga penyelenggara negara untuk mencari LHKPN. Di sinilah publik bisa mendapatkan informasi total harta kekayaan penyelenggara negara yang bersangkutan.

Karena publik selalu memantau LHKPN mereka, setidaknya mencegah penyelenggara negara, termasuk anggota legislatif, melakukan tindak pidana korupsi. Asal usul harta mereka harus jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.

Namun, dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD (PKPU 10/2023) dan PKPU Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPD (PKPU 11/2023), tidak ada syarat bacaleg wajib daftar dan isi LHKPN secara daring (online) melalui elhkpn.kpk.go.id.

Dua PKPU itu merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam UU Pemilu hanya berlaku pada pendaftaran bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden (vide Pasal 227 huruf d).

Sesuai dengan jadwal, pendaftaran bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden pada tanggal 19 Oktober sampai dengan 25 November 2023.

Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017 pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang penuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR RI 2019.

Saat ini ada 575 kursi di parlemen sehingga pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2024 harus memiliki dukungan minimal 115 kursi di DPR RI. Bisa juga pasangan calon diusung oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu 2019 dengan total perolehan suara sah minimal 34.992.703 suara.

Terjadi kemunduran

Keterkaitan dengan tidak adanya persyaratan bagi bacaleg untuk melampirkan LHKPN pada saat partai politik mengajukan daftar bacaleg ke KPU, 1—14 Mei lalu, pengajar Hukum Pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menilai terjadi kemunduran.

Pasalnya, pada Pemilu 2004, salah satu syarat caleg di setiap tingkatan wajib lapor harta kekayaan. Kala itu berupa fotokopi tanda bukti penyerahan daftar kekayaan yang dimiliki setiap calon dari instansi yang berwenang kepada KPU.

Komisi Pemilihan Umum (KPU), menurut Titi, bisa saja mengatur tentang LHKPN, baik dalam PKPU 10/2023 maupun PKPU 11/2023, sebab kewenangan pengaturan tahapan pemilu adalah lembaga penyelenggara pemilu ini.

Mengingat pemilu serentak yang berbarengan dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, sangat logis bila KPU menempatkan pengaturan yang setara antara posisi yang berkompetisi, termasuk soal LHKPN legislatif dan presiden.

Selain itu, LHKPN bisa jadi instrumen bagi pengawasan dana kampanye untuk memeriksa keselarasan pelaporan dana kampanye dan kepemilikan harta calon.

KPU bisa melakukan terobosan hukum untuk itu, khususnya bila dikaitkan dengan asas pemilu jujur dan adil yang menjadi landasan dalam pelaksanaan pemilu.

Dengan demikian, kata anggota Dewan Pembina Perludem ini, pengaturan KPU tidak bisa dilihat secara sempit ansich dengan persyaratan yang ada dalam UU Pemilu. Akan tetapi, juga bisa dilakukan penalaran dan progresivitas hukum.

Hal ini justru akan memperkuat praktik pemilu yang luber dan jurdil, sebagaimana dikehendaki Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Di lain pihak, Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama dengan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, dan Komite Pemantau Legislatif pada tanggal 22 Mei 2023 mendesak KPU segera membatalkan PKPU 10/2023 dan PKPU 11/2023.

Mereka juga mendesak KPU RI tidak lagi mencantumkan syarat berupa menjalani masa hukuman pencabutan hak politik dan tetap berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi berupa melewati masa jeda waktu 5 tahun bagi mantan terpidana korupsi yang ingin maju sebagai calon anggota legislatif. Putusan Mahkamah Konstitusi yang dimaksud adalah Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No. 12/PUU-XXI/2023.

Jika desakan di atas tidak kunjung dipenuhi, kata Manajer Program Perludem Fadli Ramadhanil, pihaknya akan melakukan uji materi dua PKPU tersebut ke Mahkamah Agung.

Apabila mereka betul-betul mengajukan uji materi dua PKPU ke Mahkamah Agung, lengkaplah sudah sejarah kepemiluan menjelang pesta demokrasi pada tahun 2024.

Di tengah publik masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan sistem pemilu apakah tetap menerapkan proporsional terbuka atau tertutup, KPU akan menghadapi uji materi produk hukumnya di Mahkamah Agung.

Sebelumnya, putusan perkara perdata sempat menyentuh penahapan Pemilu 2024. Putusan gugatan perdata Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst menjadi perhatian publik.

Bahkan, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu sempat menimbulkan kontroversi, terutama bunyi putusan: "Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari."

Namun, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada hari Selasa (11 April 2023) menerima permohonan banding yang diajukan KPU, kemudian membatalkan putusan PN Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt Pst tanggal 2 Maret 2023.

Akhirnya tahapan Pemilu 2024 yang dimulai pada tanggal 14 Juni 2022 sesuai dengan jadwal yang termaktub dalam PKPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan, Jadwal, dan Program Pemilu 2024. (rk)