Membangun Komitmen Pemilu Bebas Polarisasi

Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjalan di dekat bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (1/5/2023). (ant)
Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjalan di dekat bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (1/5/2023). (ant)

Pemilihan umum menjadi pesta demokrasi rakyat yang hajatnya digelar setiap 5 tahun. Selayaknya pesta, pemilu mestinya menjadi ajang bergembira seluruh rakyat dalam menyiapkan dan menunggu wakilnya menempati kursi legislatif dan eksekutif.

 Pemilu pula menjadi satu-satunya kesempatan rakyat terlibat langsung dalam menentukan arah bangsa dan negara untuk satu periode mendatang.
 
Kali ini, Pemilu Serentak 2024 sebenarnya sudah berjalan tahapannya sejak KPU meluncurkan Pemilu 2024 pada 14 Juni 2022 atau tepatnya sejak 20 bulan sebelum hari pemungutan suara yang ditetapkan pada 14 Februari 2024.
 
Akan tetapi, sampai kini pemilu sebenarnya baru terasa di beberapa kalangan saja, seperti penyelenggara, pemerintah, partai politik, bakal calon legislatif dan eksekutif, serta para simpatisan.
 
Secara keseluruhan di masyarakat, suasana pemilu sebenarnya belum begitu terasa, tahapan yang benar-benar bersentuhan langsung dengan masyarakat baru pencocokan dan penelitian data pemilih.
 
Itu pun sekadar kegiatan verifikasi yang dilakukan panitia pemungutan suara yang mendatangi rumah-rumah warga untuk memastikan daftar pilih setiap kepala keluarga.
 
Sejatinya, pemilu baru berasa "pestanya" di tengah rakyat ketika tahapan memasuki penetapan calon legislatif, pencalonan pasangan presiden-wakil presiden dan memasuki tahapan kampanye.
 
Riuh gempita di seluruh penjuru negeri baru akan dirasakan saat itu. Rakyat mulai menjatuhkan dukungan mereka pada sosok calon yang akan diserahi mandat untuk mewakili suara rakyat untuk lima tahun ke depan.
 
Di tengah pesta saat riuh dukungan itu pula tentunya terselip potensi terjadinya polarisasi dukung-mendukung dari simpatisan dan rakyat terhadap calon pemimpin negeri dambaan mereka.
 
Polarisasi sebenarnya terjadi setiap pemilu ke pemilu dan tidak hanya di Indonesia. Di belahan lain dunia pun juga terjadi. Hal itu sebenarnya menjadi sesuatu yang lumrah karena setiap individu berhak menunjukkan dukungan mereka terhadap calon yang disukai.
 
Namun, polarisasi lebih besar dampak negatifnya karena membahayakan bangsa dan negara, mengingat setiap polarisasi juga dibumbui dengan terkotak-kotaknya pendukung, simpatisan, rakyat.
 
Mereka menunjukkan dukungan, dan bahkan saling serang dengan berbagai macam cara demi satu tujuan, memenangkan sosok yang mereka dukung.
 
Caranya pun berbagai rupa, dengan memanfaatkan politik primordial, politik identitas, kampanye negatif, bahkan kampanye hitam. Tindakan ini lah yang membahayakan bangsa dan negara, karena menimbulkan keterbelahan pada rakyat.
 
Pakar politik sekaligus akademikus Universitas Bengkulu Dr. Panji Suminar menyebutkan memang polarisasi pemilu tidak dapat dihindari sepenuhnya.
 
"Namun bahayanya polarisasi dapat dicegah. Komitmen semua pihak sangat dibutuhkan agar pemilu bebas polarisasi, terutama polarisasi yang membahayakan bangsa dan negara," kata dia. 
 
Komitmen
 
Tidak hanya pemerintah dan penyelenggara pemilu yang harus berjuang dan berkomitmen untuk merealisasikan pemilu selayak pesta bagi rakyat. Di situ juga ada unsur lain yang peranannya krusial, yakni partai politik, peserta pemilu, elite, tokoh, dan yang terpenting adalah tim sukses, tim kampanye, dan simpatisan.
 
Sejauh ini, calon anggota legislatif dan calon presiden-wakil presiden biasanya tidak akan melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji seperti politik identitas, primordial, kampanye negatif, bahkan kampanye hitam.
 
Para peserta pemilu tersebut, khususnya calon presiden dan wakil presiden, sudah pasti menunjukkan kecakapan, kapabilitas, dan kualitas mereka dengan menyuguhkan program, visi dan misi yang berbobot.
 
Namun persoalannya berada di tingkat bawah, terhadap para tim sukses, tim kampanye, simpatisan dan pendengung atau buzzer. Mereka mendukung dengan cara mereka sendiri, yang hal itu tentunya tidak akan terawasi seluruhnya oleh para calon peserta pemilu.
 
Tim sukses dan simpatisan bisa saja melakukan tindakan-tindakan yang menjadi pemantik terjadinya keterbelahan di tengah masyarakat. Penggunaan politik identitas, primordial, kampanye hitam, menyerang kandidat lain, tentunya dapat membuat kegaduhan dan masyarakat juga terbawa arus dalam hiruk-pikuk tersebut.
Oleh karena itu, perlu komitmen mencegah polarisasi dari pihak-pihak tersebut agar berkampanye dengan menunjukkan dukungan dengan cara-cara beretika, santun, dan mengedepankan visi dan misi para calon dalam meyakinkan masyarakat agar mau memberikan suara untuk calon yang mereka perjuangkan.
 
Komitmen tersebut harus dimulai dari sekarang, sebelum ditetapkannya para calon peserta pemilu dan dimulainya tahapan kampanye. Komitmen harus dimulai sedini mungkin, agar benih-benih potensi polarisasi, benar-benar dapat diredam. 
 
Mencegah
 
Akademikus Universitas Bengkulu Dr. Sugeng Suharto menyebutkan sebenarnya potensi polarisasi dapat dicegah dan diminimalkan dengan pertarungan pemilu presiden yang tidak harus saling berhadap-hadapan antar-dua pasang kandidat.
 
Setidaknya tiga pasang kandidat capres yang membuat dukungan masyarakat akan lebih terpecah, lebih heterogen, dan diyakini lebih tenang di akar rumput, setidaknya pada putaran pertama 
 
Pemilu presiden dua putaran menjadikan potensi polarisasi akan semakin kecil. Mungkin saja pada putaran kedua tinggal dua pasang kandidat dan akan membentuk dua poros dan terpolarisasi, namun potensi bahayanya tidak terlalu besar karena sebagian dukungan awalnya milik dari kandidat lain yang tidak lolos ke putaran kedua.
 
Jadi, para pendukung dari kandidat yang tidak lolos tersebut kalau beralih dukungan ke kandidat yang lolos di putaran kedua tentunya mereka tidak memberikan dukungan layaknya simpatisan fanatik atau ekstrem.
 
Kemudian rentang waktu dari usai pemilu putaran pertama ke hari pemungutan suara putaran kedua juga tidak panjang, jadi risiko keterbelahan dari polarisasi masyarakat tidak akan terlalu tinggi.
 
Bagi para kandidat, yang terpenting terus menunjukkan cara-cara berpolitik santun, bijak, dan terus menyampaikan program, visi dan misi mereka, jangan lewat dari koridor tersebut.
 
Partai politik juga bertanggung jawab terhadap kader dan simpatisan mereka agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang merusak makna dari pesta demokrasi.
 
Para elite, politikus, dan tokoh yang menjadi panutan masyarakat, mereka harus mampu membangun komunikasi yang positif, tidak asal memberikan pernyataan dan pendapat di tengah publik yang malah membuat masyarakat gaduh bahkan terbelah.
 
Hal terpenting lain yang mesti dijaga adalah ruang media digital, media sosial yang sehat. Caranya dengan menekan potensi, kampanye negatif, kampanye hitam, dan hoaks bertebaran di saluran digital.
 
Tindakan-tindakan atau cara-cara kotor tersebut biasanya dilakukan oleh para pendengung  untuk menyerang kandidat-kandidat sesuai "pesanan" dari pihak-pihak tertentu.
 
Panji Suminar menilai perlu mengkaji penerapan Undang-Undang ITE untuk menjerat dan memberikan efek jera terhadap pelaku tindakan-tindakan yang sejatinya merusak demokrasi dan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
 
Dengan penerapan UU ITE, diharapkan saluran digital selama penyelenggaraan pemilu dapat lebih bersih dari konten-konten yang bisa menyebabkan polarisasi, memecah-belah bangsa.
 
Kementerian Kominfo RI berkomitmen mempersiapkan langkah-langkah pencegahan dan penanganan ruang digital dengan baik. Hal itu belajar dari beberapa pemilu sebelumnya, adanya gesekan-gesekan di antara masyarakat.
 
Pencegahan dapat dilakukan dalam bentuk literasi-literasi dan moderasi-moderasi, dan dalam jaringan secara khusus yang berkaitan dengan konten.
 
Kemkominfo bersama kementerian lembaga terkait juga memikirkan perlunya membentuk satuan tugas khusus untuk mengawal ruang digital sebagai sarana koordinasi dan kolaborasi mengawal ruang digital.
 
Setiap kementerian dan lembaga yang mempunyai perangkat peralatan dan satuan siber nantinya saling berkoordinasi menghadirkan ruang digital yang sehat untuk pemilu.
 
Terakhir, tentu kembali pada masyarakat sebagai pemilih. Rakyat jangan pernah mau terhasut oleh tindakan-tindakan politik kotor. Melihat kandidat yang dipilih itu dari program, visi, dan misi yang disampaikan, bukan dari sisi buruk atau sisi negatif kandidat yang mencuat selama proses Pemilu 2024 berlangsung.
 
Masyarakat harus mampu memilah informasi yang benar, tidak termakan hoaks atau kampanye hitam. Pemilih tentu boleh mendukung tapi jangan fanatik.

Yang terpenting gunakan hak pilih karena setiap pemilih berhak menentukan arah bangsa untuk 5 tahun ke depan melalui wakil-wakil yang diberi mandat mengelola negara. (rk)