Apa Sih Alasan Pemkot Tangsel Hambat Pembangunan Hana Kreasi Persada?

"Pemerintah Kota Tangsel yang mengubah status tanah kami di RT/RW Kota Tangsel 2011-2031 dari semula warna kuning (pemukiman) menjadi warna biru (situ) tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dan berkoordinasi dengan pihak kami,” kata Perwakilan PT HKP, Susana kepada media di Rempoa belum lama ini.
"Pemerintah Kota Tangsel yang mengubah status tanah kami di RT/RW Kota Tangsel 2011-2031 dari semula warna kuning (pemukiman) menjadi warna biru (situ) tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dan berkoordinasi dengan pihak kami,” kata Perwakilan PT HKP, Susana kepada media di Rempoa belum lama ini.

Gemapos.ID (Tangsel) - Hana Kreasi Persada (HKP) mengaku rencana pembangunan kawasan pemukiman oleh perusahaan tersebut di wilayah Rempoa, Tangerang Selatan (Tangsel) dihambat oleh pemkot setempat. 

Padahal, perusahaan ini telah memiliki lahan di wilayah tadi berdasarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) nomor 0340/Rampoa.

"Pemerintah Kota Tangsel yang mengubah status tanah kami di RT/RW Kota Tangsel 2011-2031 dari semula warna kuning (pemukiman) menjadi warna biru (situ) tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dan berkoordinasi dengan pihak kami,” kata Perwakilan PT HKP, Susana kepada media di Rempoa belum lama ini

Apalagi, perubahan warna biru yang ditetapkan Pemkot Tangsel dari warna kuning dinilai tidak jelas.

Pasalnya, sebanyak dua rumah contoh belum selesai masih terdapat di sana dengan jalan beraspal dan gorong-gorong yang dikelilingi pagar beton.

"Tanah itu dinyatakan sebagai situ tanpa ada langkah-langkah kongkrit untuk membuat situ dan membayar ganti rugi terhadap tanah kami, ” tuturnya.

Selain itu terdapat kebun yang ditanami pohon singkong, pohon pisang, dan sayur-mayur oleh warga di sana

“Area ini sudah lebih dari 12 tahun milik PT Hana Kreasi Persada (HKP), ” kata Salah Seorang dari beberapa penggarap lahan di area tersebut, Acin. 

HKP telah meminta keterangan terkait perubahan status tanah SHGB dari kuning menjadi biru kepada Pemkot Tangsel. 

Namun, sampai sekarang pemkot ini belum memberikan penjelasan. 

"Walaupun kami sudah mengirimkan surat berkali- kali untuk menanyakan dan membicarakan soal ini dengan pihak Walikota Tangsel," ucap Susana. 

Dengan demikian, Pemkot Tangsel dinilai telah bertindak sewenang-wenang lantaran melalaikan dan tak mengindahkan fakta-fakta hukum yang sudah dimiliki oleh pihaknya.

“Harusnya Pemkot Tangsel bersikap tegas. Segera keluarkan surat Pengajuan Bangunan Gedung (PBG) atau silahkan ambil alih lokasi tersebut dengan membayar harga lahan sesuai dengan harga pasar dan mengganti segala fasilitas yang telah kami bangun," ujar Susana.

Langkah lain yang mesti dilakukan Pemkot Tangsel dengan mengajak bicara HKP. 

Saat ini sikap Pemkot Tangsel dianggap tidak jelas dengan merubah tanah HKP sebagai situ dalam RTRW Kota Tangsel secara sepihak.

"Tanpa dasar hukum yang jelas, tanpa kajian kelayakan, tanpa ganti rugi selama lebih 12 tahun,” tuturnya.

Susana mengungkapkan sertifikat tanah yang dimiliki HKP berasal dari Sertifikat Hak Milik nomor 1974/Rampoa atas nama Nyonya Darnelis sebagai pemilik kedua.

Sertifikat ini diterbitkan oleh Kantor Agraria Indonesia (sekarang Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada 1974.

“Jadi kami pemilik ketiga dari tanah itu,” ujar Susana.

HKP mengajukan perizinan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangsel (sebelum menjadi Pemkot) pada 2008-2009 untuk membangun kawasan Rempoa menjadi wilayah perumahan. 

Berbagai ijin yang dimaksud ijin lingkungan, ijin lokasi, ijin pemanfaatan ruang, dan pengesahan siteplan.

Kemudian, peil banjir, ijin UPK-UKL, ijin mendirikan bangunan pagar pembatas, rekomendasi andalalin, dan rekomendasi kebakaran. 

Semua dokumen perijinan sudah diperoleh HKP dari Pemkab Tangsel.

Karena, wilayah itu dalam RTRW Kabupaten Tangerang tahun 2008-2010 peruntukkannya adalah pemukiman.

“Kecuali IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) yang waktu itu belum diajukan karena menunggu proses penjualan gambar rumah, “ ujar Susana.

HKP mengajukan permohonan PBG/IMB kepada Pemkot Tangsel yang baru terbentuk.

Hal ini ditolak oleh Pemkot Tangsel, karena tanahnya diisukan sebagai Situ Kayu Antap dan masuk dalam Daftar Aset Milik Daerah Provinsi Banten.

HKP mengajukan prses hukum kepada Peradilan Umum dengan hasil Putusan Pengadilan Negeri No. 13/Pdt.G/2010/PN.SRG yang diperkuat oleh Putusan Pengadilan Tinggi No.13/PDT/2012/PT.BTN sebagai berikut:

Pertama, menyatakan Sertifikat HGB no 340 adalah sah secara hukum.

Kedua, menyatakan peralihan hak jual beli atas SHGB no 340/Rempoa adalah sah secara hukum.

Ketiga, menyatakan SHGB no 340 bukanlah merupakan lokasi Situ Antap.

Dengan dasar putusan tersebut Gubernur Provinsi Banten menghapus status Situ Antap dari Daftar Barang Milik Daerah Provinsi melalui SK Gubernur Banten no.953/Kep.438-HUK/2016. 

"Artinya, persoalan situ atas tanah tersebut sudah tidak ada lagi," ucap Susana.

HKP juga telah membayar Pajak Bumi Bangunan (PBB) atas tanah ini selama 49 tahun yang dikeluarkan pihak Pemda Kabpaten Tangerang dan Pemkot Tangsel NOP 36.75-062.005-007.0456.0.

Jadi, pengembang ini berencana membangun perumahan di wilayah tersebut, termasuk mengajukan IMB kepada Pemkot Tangsel.

“Namun kami kaget, ternyata Pemkot Tangsel sudah merubah RTRW Kabupaten Tangerang yang semula status tanah kami untuk pemukiman diubah menjadi situ pada RTRW Kota Tangsel 2011-2031," tuturnya.

HKP kembali menggugat Pemkot Tangsel lewat PTUN dengan putusan Pemkot Tangsel harus segera mengeluarkan PBG/IMB.

Namun. Pemkot Tangsel tetap tidak mau menerbitkan Surat Rekomendasi untuk mengeluarkan PBG/IMB.

Selanjutnya HKP mengajukan permohonan eksekusi ke PTUN Banten dengan penetapan memerintahkan Pemkot Tangsel untuk melaksanakan Putusan No. 1/FP/2019/PTUN.SRG berkekuatan hukum tetap. 

Perintah itu ditujukan langsung kepada Walikota Tangsel cq.TKPRD.

Namun. Pemkot Tangsel tetap tidak mau menerbitkan IMB. 

"Dengan alasan, tanah tersebut adalah situ berdasarkan selembar data dari Peta Batavia Residentie Preanger Regentschappen District Kebajoran Desa Rampoa tahun 1928 yang sangat diragukan keabsahan dan keberadaanya," ujarnya. 

Peta tersebut dibuat berdasarkan hukum zaman Hindia Belanda dan sekarang tak berlaku lagi, karena sejak 18 Agustus 1945 yang berlaku adalah UUD 1945.

“Peta itu mestinya jangan hanya diberlakukan kepada tanah kami. Berlakukan juga dong ke seluruh tanah di seluruh wilayah Tangerang Selatan,” tuturnya. (adm)