Apakah Yasonna Masih Layak Sebagai Menkumham?

yasonna laoly
yasonna laoly
Nama Yassona Laoly kali pertama mencuat ketika dia berbicara pada sidang pemilihan paket pimpinan DPR pada 2015. Dia menyesalkan sikap Partai Demokrat (PD) melakukan walk out (keluar sidang) dengan alasan aspirasinya tidak didengar oleh para anggota DPR tentang bagaimana melakukan pemilihan tersebut. Padahal, PDI-P sebagai partai yang menaungi Yassona mengklaim mau mendengar apa yang ingin diusulkan bahkan menjalankan masukan PD. Namun, partai itu tetap ngeloyor keluar ruang sidang yang diklaim sebagai sikap penyeimbang atau tidak berpihak kepada siapapun dalam pemilihan tersebut. Justru sikap yang ditunjukkan PD diduga merupakan upaya ’bermain cantik’ supaya tidak kelihatan memihak salah satu kubu tertentu. Partai ini membiarkan salah satu pihak meraih suara terbanyak, sehingga bisa memenangkan pemilihan itu yang bisa saja seimbang apabila PD mau mengikuti pemilihan tadi. Dari kejadian itu kemungkinan PDI-P melihat Yasonna sebagai sosok yang idealis kepada kepentingan banyak orang sekaligus loyal kepada partainya. Jadi, PDI-P memberikan masukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menunjuknya sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusa (Menkumham) sesuai sikap, pengalaman, dan latarbelakangnya. Harapannya, Yasonna bisa menempatkan hukum sebagai panglima yang berada di atas segala-galanya. Selain itu dia bisa berbuat adil dalam penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi yang menjadi janji kampanye Jokowi sampai sekarang. Namun, Yasonna ternyata tidak dapat banyak untuk merealisasikan janji Jokowi, dia lebih sering terjebak dalam birokrasi dan kepentingan pihak-pihak tertentu. Namun, itu tidak dilihat Jokowi sebagai suatu kelemahan. Malahan, dia dipertahankan untuk kembali diangkat memegang posisi yang sama yang melambangkan dia sebagai seorang yang berkinerja baik dan mumpuni pada jabatan tersebut.   Kebijakan Kontroversial Sederet kebijakan kontroversial terus dilakukan Yasonna selama dia sebagai orang nomor satu di Kemenkumham. Hal itu seperti diduga turut merekomendasikan kepada Jokowi untuk sepakat merevisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, pegiat antikorupsi menyayangkan revisi UU KPK akan mencopot taring institusi tersebut seperti melakukan penyadapan, operasi tangkap tangkap (OTT), dan penahanan seorang tersangka dengan dua alat bukti saja. Dengan revisi UU KPK semua itu hanya bisa dilakukan sepersetujuan dewan pengawas (dewas) yang sebelumnya tidak ada, sehingga ini memakan waktu birokrasi, sehingga para koruptor cepat menghilangkan jejak atas aksinya. Kebijakan lain Yasonna yang dianggap membuat geleng-geleng kepala publik adalah bagaimana semula Kemenkumham tidak mau disalahkan atas kecolongannya tidak menahan Harun Masiku pasa saat dia melintas di bandar udara (bandara). Harun merupakan tersangka yang ditetapkan KPK atas kasus suap pergantian antar waktu (PAW) Anggota DPR dari Fraksi PDI-P yang buron tidak diketahui keberadaannya. Setelah mengalami desakan berbagai pihak, akhirnya Kemenkumham mengakui melihat orang yang mirip Harun Masuki, tetapi itu tidak ditahan akibat tidak dikenalinya. Yasonna menyalahkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi yang tidak bertanggungjawab atas kejadian tersebut yang dilampiaskan dengan pencopotan direktur jenderal (dirjen) imigrasi. Padahal, dirjen ini diduga telah melaporkan keberadaan Harun Masiku, tapi ini diduga tidak digubris sang menteri. Malahan, dia terkesan membiarkannya.   Asimilasi Napi Salah satu sorotan yang sedang menggema di publik atas Yasonna adalah keingunannya melakukan asimilasi yakni pembebasan) narapidana (napi) yang telah menjalankan dua pertiga masa tahanannya. Alasannya, ruang tahanan (rutan) yang ditempati napi sudah berdesakan, sehinga ini beresiko untuk penularan corona virus disease 2019/covid-19 (virus korona). Untuk napi tindak pidana umum memang kejadiannya seperti itu yang berbeda dengan napi korupsi yang diduga tidak berhimpitan. Malahan, mereka diduga memiliki ruangan khusus layaknya di rumah dengan berbagai fasilitas layaknya orang bebas. Berkat penolakan yang keras oleh berbagai pihak, akhirnya pembebasan untuk napi koruptor urung dilakukan Yasonna sekali lagi bukan lantaran tidak berperikemanusian, tetapi tindakan korupsi merupakan kejahatan luar biasa.   Masalah Bertambah Walaupun demikian, masalah tetap ada atas pembebasan napi tindakan umum, karena napi ini dikeluarkan secara mendadak sekaligus tidak dipersiapkan secara matang. Jadi, napi ini tidak tahu apa yang akan dan bisa dilakukan ketika mereka di luar penjara. Apalagi, saat ini Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19 yang melahirkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk memutus penyebarannya. Para napi diduga tidak dibekali keterampilan yang cukup untuk dia bisa mencari penghasilan dengan cara berwirausaha. Karena, dia sulit dapat melamar pekerjaan akibat status yang disandangnya. Apalagi, pada saat pemberlakukan PSBB tidak mudah membuka usaha akibat keterbatasan pemasaran dan daya beli yang menurun. Selain itu apakah para napi sudah berhasil disadarkan atas kesalahannya selama ini, sehingga dia tidak akan mengulanginya. Itu belum terbukti dilihat ketika dia kembali melakukan kejahatan yang sama. Dengan demikian upaya pembebasan napi dengan maksud menghindari penyebaran covid-19, justru menimbulkan persoalan baru yakni kejahatan yang merajalela seperti perampokan. Apalagi, pembebasan napi menimbulkan praktik korupsi bagi oknum lembaga pemasyarakatan (lapas) dengan mengenakan tarif Rp5 juta bagi napi yang ingin keluar dengan program asimilasi. Persoalan napi tindakan pidana umum memang semakin rumit sebelum Yasonna menjabat sampai dia menduduki kursi ini. Hal itu seperti peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) di lapas yang melibatkan pihak penjara. Badan Narkotika Nasional (BNN) dibuat hampir kehilangan akal mengatasinya, karena di satu sisi sebagai institusi yang berwenang menangani ini. Pada bagian lain ini di area institusi lain yakni Dirjen Pemasyaratan yang menjadi wilayah Kemenkumham yang diduga tidak berhasil memberantasnya sekaligus menyadarkannya. Dari berbagai hal tadi dianggap sebagian pihak sebagai dosa besar, sehingga Yasonna dituntut mundur sebagai Menkumham. Apabila itu tidak dilakukannya, Jokowi diharapkan mau memberhentikannya untuk dipercayakan kepada orang yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan tadi. (mam)