Ini Tuntutan LPAI dan Organisasi Pengendali Rokok Terhadap RUU Kesehatan

“Pemerintah agar dapat membuat suatu regulasi yang mengatur dengan tegas akan bahaya rokok dan dampak negatif yang ditimbulkan dari segala bentuk iklan, promosi dan sponsor rokok bagi kemajuan bangsa,” ujar Ketua Umum (Ketum) LPAI, Seto Mulyadi.
“Pemerintah agar dapat membuat suatu regulasi yang mengatur dengan tegas akan bahaya rokok dan dampak negatif yang ditimbulkan dari segala bentuk iklan, promosi dan sponsor rokok bagi kemajuan bangsa,” ujar Ketua Umum (Ketum) LPAI, Seto Mulyadi.

Gemapos.ID (Jakarta) - Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) dan jaringan organisasi pengendalian rokok di Indonesia memberi masukan RUU Kesehatan Omnibus Law yang terdiri atas 20 bab dan 478 pasal.

RUU ini sedang dalam proses pembahasan di DPR yang jika disahkan akan menggantikan UU Kesehatan Nomor 39 tahun 2009. 

“Untuk itu, pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law Kesehatan) saat ini harus secara eksplisit dan tegas mengatur perlindungan hak kesehatan anak dari paparan asap rokok dan produk tembakau lainnya,” kata Koordinator Koalisi Nasional Masyarakat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau, Ifdhal Kasim.

Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers bertajuk ‘Sinergi Bersama Wujudkan Perlindungan Anak dari Bahaya Rokok Melalui RUU Omnibus Law Kesehatan' pada Jumat (14/3/2023). 

Dalam RUU Omnibus Law Kesehatan memuat Bab V berisi substansi upaya kesehatan terkait bidang pencegahan dan pengendalian penyakit, dan pada bagian kedua puluh lima khusus mengenai pengamanan zat adiktif.

“Pemerintah agar dapat membuat suatu regulasi yang mengatur dengan tegas akan bahaya rokok dan dampak negatif yang ditimbulkan dari segala bentuk iklan, promosi dan sponsor rokok bagi kemajuan bangsa,” ujar Ketua Umum (Ketum) LPAI, Seto Mulyadi. 

Rokok itu memberikan dampak yang sangat buruk bagi anak-anak bahkan sejak masih dalam kandungan. Stunting adalah salah satu bahaya nyata yang dapat dilihat dari kondisi tersebut. 

”Kita perlu menciptakan lingkungan yang ramah anak mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat maupun pemerintah,” ucapnya.

Pada kesempatan yang smaa Ketua Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI), Sumarjati Arjoso menambahkan larangan total iklan, promosi, dan sponsor rokok di semua media dinilai penting masuk dalam RUU Kesehatan Omnibus Law.

Pasalnya, prevalensi perokok anak usia 10 tahun-18 tahun naik dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018. Angka ini tidak memenuhi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

“Dengan begitu pencapaiannya tidak sesuai keinginann pemerintah yang ingin menurunkan angka prevalensi perokok anak sebesar 5,4% periode 2015 sampai 2019),” tuturnya. 

Dari berbagai studi menunjukan hubungan paparan iklan, sponsor, dan promosi rokok pada konsumsi rokok anak dan remaja.

“Jadi, iklan, promosi, sponsor rokok harus dilarang total dalam RUU Kesehatan yang sedang dibahas ini, jika pernah tidak ingin gagal lagi dalam pencapaian target penurunan perokok anak sebesar 8,7% pada RPJMN 2020-2024,” ujar Sumarjati Arjoso.

Kepala Lembaga Demografi FEB UI, Abdillah Ahsan, mengemukakan Omnibus Law Kesehatan harus progresif dalam upaya menurunkan konsumsi rokok. Karena, prevalensi merokok di Indonesia masih sangat tinggi dibandingkan negara-negara lain. 

“Konsumsi rokok meningkat karena iklan sponsor dan promosi rokok yang masif, peringatan kesehatan bergambar yang minim dan aturan kawasan tanpa rokok yang dilanggar. 

Dengan demikian, kondisi ini akan menghancurkan impian Indonesia Emas 2045. 

“Kami mengharapkan semua pihak untuk bersama-sama melindungi masa depan dari terkaman industri rokok,” ujarnya.

RUU Kesehatan dalam format omnibus law, ujar Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Mukhaer Pakkanna menilai pemerintah belum mampu memetakan persoalan-persoalan sensitif yang hidup di masyarakat, terutama terhadap kelompok rentan.

Unsur diskriminasi dan ketidakadilan masih saja mewarnai banyak klausul. Apalagi RUU ini dinilai cukup tebal lantaran berisi 400 lebih pasal. 

“Jika tidak hati-hati memelototi setiap pasal, khawatir tidak sinkron, dan ada celah untuk dimanipulasi oleh kelompok tertentu. Karena itu, partisipasi publik harus terus dibuka lebar. Ini menyangkut masa depan anak cucu kita,” ujarnya. 

Komnas Pengendalian Tembakau berpendapat jika Indonesia ingin mewujudkan generasi emas pada Indonesia Emas 2045, maka negara ini harus hadir sekarang dan membebaskan anak-anak dari target industri rokok dengan melakukan pelarangan secara komprehensif.

“Iklan, promosi dan sponsor zat adiktif rokok dan memasukkannya dalam RUUKesehatan yang sekarang sedang dibahas. Jika tidak maka pada 2045 kita akan memanen ‘Generasi Cemas’ yang sakit-sakitan sehingga akan menampilkan ‘Indonesia Cemas’,” ujar Perwakilan Komnas Pengendalian Tembakau, Tubagus Haryo Karbyanto. 

Pada kesempatan itu Duta Anak Nasional KAI 2022 mengeluhkan anak-anak selalu digadang-gadangkan menjadi generasi unggulan dan dielu-elukan sebagai pewaris peradaban zaman. 

“Untuk menjadi generasi yang diharapkan, kami butuh kesehatan juga kesempatan. Bukan dininabobokan candu industri racun berbahaya. Diendapkan, mati tanpa suara,” ujar Perwakilan Duta Anak Nasional KAU 2022, Alya Eka Khairunnisa. 

Anak-anak menuntut bukti kehadiran negara dalam regulasi kesehatan yang komprehensif. Langkah ini akan dilakukan dengan meminta dukungan masyarakat dan keluarga untuk berperan protektif, bukan menjadi budak zat adiktif. 

“Berikan kami nutrisi yang memadai, bukan adiksi pengantar mati. Kami ada disini, menjadi pemimpin muda masa kini dan penerus bangsa hingga nanti. Berikanlah kami kesempatan untuk membuktikan diri,” ujarnya. (adm)