Berikut Saran MUI bagi Indonesia Sikapi Perkembangan Kasus Uyghur di China

“Secara etnis dan budaya kami berbeda dengan China, kami ingin hidup sesuai tradisi kami,” kata President UHRP, Omer Kanat yang diterjemahkan moderator Ahmad Arafat.
“Secara etnis dan budaya kami berbeda dengan China, kami ingin hidup sesuai tradisi kami,” kata President UHRP, Omer Kanat yang diterjemahkan moderator Ahmad Arafat.

Gemapos.ID (Jakarta) - Uyghur Human Rights Project (UHRP) mengungkapkan pengekangan beribadah umat Muslim ini oleh Pemerintah China sudah berlangsung sejak lama. 

Bahkan, sekitar dua juta sampai tiga juta Muslim Ughur telah dijebloskan Pemerintah China ke kamp konsenstrasi dengan dalih pembinaan ideologi komunis.

“Secara etnis dan budaya kami berbeda dengan China, kami ingin hidup sesuai tradisi kami,” kata President UHRP, Omer Kanat yang diterjemahkan moderator Ahmad Arafat. 

Pernyataan ini disampaikannya dalam diskusi publik bertajuk ‘Memantik Solidaritas Umat Islam Menyikapi Pengekangan Hak Muslim Uyghur’ di Jakarta pada Rabu (14/4/2023).

Padahal, Pemerintah China melakukan penyiksaan dan cuci otak bangsa Uyghur guna memutus mata rantai kebudayaan nenek moyangnya yang beragama Islam. Kebijakan ini juga agar selaras dengan kebijakan Pemerintah China.

“Bahkan lebih dari 1.000 imam kami ditahan dan dimasukan ke dalam kamp konsentrasi,” ujarnya.

Ketua Komisi Luar Negeri dan Hubungan Internasional MUI Pusat, KH Shobahussurur Syamsi, mengemukakan persoalan Uyghur adalah masalah umat Islam di dunia. 

Sejumlah solusi yang dapat dilakukan seperti para ekspatriat Uyghur di pengasingan, agar  menyatukan tekad untuk membebaskan bangsanya dari kekuasaan China. Kemudian, membuat visi dan misi tentang bangsa Uyghur baru yang mandiri dan berdaulat.

Berikutnya, menetapkan pimpinan tertinggi yang mengorganisir perjuangan, dengan keterampilan dalam berdialog dengan berbagai bangsa.

Selanjutnya, aktivis Uyghur harus melakukan dialog terus-menerus dengan China untuk mencari titik temu yang saling menguntungkan. 

Hal lainnya adalah membuat tahapan-tahapan perjuangan dari yang paling utama dengan mengangkat masalah pendidikan yang dianaktirikan sampai  masalah ketimpangan sosial dan kebebasan berekspresi dan beragama.

“Saya menyarankan menghindari cara-cara kekerasan yangg dilakukan kelompok-kelompok kecil Uyghur supaya tidak timbul reaksi negatif tentang radikalisme dan terorisme. Juga harus mengirimkan putra putri terbaiknya belajar di perguruan tinggi luar negeri,” ujarnya dalam keterangan tertulis. 

Menyinggung peran Indonesia, ujar Shobahussurur Syamsi, perlu mempelopori untuk menerima pelajar dan mahasiswa Uyghur belajar di perguruan tinggi Indonesia. Hal ini dilakukan dengan mencarikan beasiswa baginya. 

Kemudian, memberikan bantuan pendampingan dalam komunikasi, dialog, dan pertemuan-pertemuan dengan berbagai pihak.

“Di sini PJMI dapat berperan untuk menjembatani proses perdamaian antara China dan bangsa Uyghur untuk mendapatkan solusi yang memadai. Kegiatan bisa berupa diskusi, seminar dan dialog. Lobi-lobi dengan berbagai pihak agar diperbanyak dan lebih  fokus ke arah terwujudnya perdamaian di kawasan Xinjiang itu,” ucapnya. 

Sementara itu Ketua Umum (Ketum) Pengurus Pusat Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PP PJMI), Ismail Lutan mengemukakan diskusi tentang Uyghur merupakan salah satu bentuk kepedulian organisasinya untuk turut serta memperjuangkan hak-hak umat Muslim yang tertindas di belahan dunia mana pun.

Sebelumnya, pihaknya telah mengundang Aqsa Working Group (AWG) berdiskusi di sekretariatnya guna memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina yang ditindas Israel. 

“Ini adalah bagian dari semangat dan perjuangan PJMI untuk umat Muslim yang tertindas,” tuturnya. (adm)