BMKG Ajak Masyarakat Gotong Royong Berkontribusi Tahan Laju Perubahan Iklim

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati (tengah) mengamati sejarah perkembangan peningkatan gas rumah kaca (GRK) di sela puncak peringatan Hari Meteorologi Dunia (HMD) ke-73
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati (tengah) mengamati sejarah perkembangan peningkatan gas rumah kaca (GRK) di sela puncak peringatan Hari Meteorologi Dunia (HMD) ke-73

Gemapos.ID (Jakarta) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengajak seluruh masyarakat Indonesia gotong royong berkontribusi menahan laju pemanasan global dan perubahan iklim demi keberlangsungan generasi mendatang.

"Perubahan iklim menjadi isu yang harus diperhatikan karena ini memiliki dampak dan resiko yang besar terlebih pada keberlangsungan makhluk hidup dan generasi di masa mendatang," ujar Dwikorita dalam puncak peringatan Hari Meteorologi Dunia (HMD) ke-73 yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.

Dalam peringatan HMD yang diselenggarakan di Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang, Sumatera Barat itu, Dwikorita menambahkan perlu aksi pengendalian perubahan iklim yang konkret dari seluruh lapisan masyarakat.

Menurutnya, fenomena perubahan iklim semakin mengkhawatirkan serta memicu dampak yang lebih luas. Hal itu terlihat dari berbagai peristiwa alam terkait iklim, dari suhu udara yang lebih panas, terganggunya siklus hidrologi, hingga maraknya bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia.

Dwikorita mengatakan bentuk kontribusi yang dapat dilakukan dapat dimulai dari hal-hal yang terlihat gampang dan sepele, mulai dari tidak membuang sampah sembarangan, menerapkan Reduce, Reuse, Recycle (3R), menanam tanaman atau pohon, berjalan kaki, bersepeda, atau gunakan transportasi umum, dan hemat energi.

"Khusus sampah, dampaknya sangat besar karena memberikan kontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca dalam bentuk emisi metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Karenanya, meskipun terlihat sepele, namun langkah kongkrit itu berkontribusi besar dalam menahan laju perubahan iklim," imbuhnya.

BMKG mencatat secara keseluruhan tahun 2016 merupakan tahun terpanas untuk Indonesia, dengan nilai anomali sebesar 0,8 derajat Celsius sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020.

Tahun 2020 menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,7 derajat Celsius, dengan tahun 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0,6 derajat Celcius.

Kondisi terpanas itu, kata Dwikorita, dipicu oleh tren pemanasan global yang diamplifikasi oleh kejadian anomali iklim El Nino.

Dwikorita menambahkan bahwa akibat perubahan iklim, kejadian-kejadian ekstrem lebih kerap terjadi, terutama kekeringan dan banjir.

Jika sebelumnya rentang waktu kejadian berkisar 50-100 tahun, maka kini rentang waktu menjadi semakin pendek atau frekuensinya semakin sering terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi atau durasi yang semakin panjang.

"Contoh nyata di Indonesia adalah kemunculan siklon tropis Seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) April 2021 lalu. Padahal fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi terbentuk di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi," paparnya.

Yang terbaru, lanjut dia, adalah bencana tanah longsor yang terjadi di Natuna yang mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia.

"Jika situasi ini terus berlanjut, maka Indonesia akan jauh lebih sering dilanda cuaca ekstrem dan bencana yang tidak hanya menimbulkan kerugian materiil namun juga korban jiwa," kata Dwikorita.(ap)