Revolusi Mental Pejabat Dinilai Gagal, GMKI Desak Jokowi Bersih-bersih di Kemenkeu

Ketua Bidang Aksi dan Pelayanan Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI), Ranto Pasaribu. (ant)
Ketua Bidang Aksi dan Pelayanan Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI), Ranto Pasaribu. (ant)

Gemapos.ID (Jakarta) - Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) meminta Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, untuk segera membersihkan para pejabatnya dari perilaku hedon serta menumpuk harta dan kekayaan pribadi. Sebab, perilaku pejabat seperti itu sangat mencederai rasa keadilan masyarakat Indonesia.

Ketua Bidang Aksi dan Pelayanan Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI), Ranto Pasaribu, menyampaikan, PP GMKI bersama Ketua Umum PP GMKI Jefri Edi Irawan Gultom menyoroti maraknya perilaku pejabat di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang sangat menunjukkan sikap dan mental yang buruk sebagai pejabat.

Menurut Ranto Pasaribu, kini semakin banyak terkuak sikap dan perilaku sejumlah Pejabat yang tidak memperlihatkan adanya Revolusi Mental. Revolusi Mental itu telah gagal di kalangan pejabat.

Padahal, Presiden Joko Widodo, serta Menteri Keuangan Sri Mulyani sangat prihatin dengan sikap dan perilaku pejabat yang bergaya hidup hedonis, atau pun yang menumpuk harta kekayaan bagi dirinya sendiri.

“Ini menunjukkan Revolusi Mental yang digagas Presiden Joko Widodo telah gagal di kalangan pejabat. Karena itu, para pejabat seperti itu harus segera dibersihkan, agar tidak menjadi borok berkepanjangan,” tutur Ranto Pasaribu, dalam siaran persnya, Rabu (15/3/2023).

Ranto Pasaribu menuturkan, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) menyoroti apa yang terjadi di lingkungan Kementerian Keuangan saat ini.

Sejumlah catatan seperti apa yang pernah di sampaikan oleh Budayawan Romo Magnis Suseno mengenai Konsep Pemiskinan Struktural, semakin terkuak.

Diterangkan Ranto Pasaribu, Pemiskinan Struktural disinyalir sebagai strategi untuk membuat jenjang yang tinggi antara yang miskin dan yang kaya, dengan tidak adanya pemerataan atau distribusi jabatan yang hanya dikuasai dan dimiliki sekelompok orang dalam tubuh institusi-institusi Pemerintahan.

Misalnya, Negara melalui Undang-Undang, memperbolehkan adanya rangkap jabatan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam lingkup Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Hal ini disinyalir akan menjadi masalah tersendiri, karena jenjang kemiskinan secara struktural semakin hari semakin berjarak.

“Yang miskin akan semakin miskin, dan yang kaya semakin kaya, karena distribusi jabatan tidak terjadi secara merata,” ujar Ranto Pasaribu.

Seperti yang terjadi di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan sejumlah BUMN yang sedang santer disoroti seluruh masyarakat Indonesia belakangan ini.

“Yakni kekayaan ASN Kemenkeu yang melampaui batas kewajaran dengan berbagai jabatan yang di emban,” katanya.

Karena itu, lanjut Ranto Pasaribu, Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI), menyebut ada sejumlah catatan penting yang harus menjadi perhatian serius dari Presiden Joko Widodo, bersama Menkeu Sri Mulyani dan Menteri BUMN Erick Thohir.

Pertama, Sri Mulyani sebagai jadi Menteri keuangan terlama (sejak 7 Desember 2005–20 Mei 2010 dan 27 Juli 2016 sampai sekarang).

“Dilihat dari sisi pengalaman beliau, seharusnya mampu menciptakan sebuah sistem organisasi di Kementerian Keuangan secara transparan dan profesional, khususnya tata kelola keuangan dan sistem perpajakan,” ujarnya.

“Dengan terkuaknya, kasus Pegawai Pajak Kemenkeu, Rafael Alun, mengindikasikan adanya problem tata kelola keuangan dan perpajakan yang sangat serius di lingkungan Kementerian Keuangan, serta lemahnya sistem pengawasan,” lanjut Ranto Pasaribu.

Kedua, di laman Kementerian Keuangan, laporan penerimaan pajak selalu mengalami peningkatan yang signifikan dan selalu mendapat apresiasi publik.

“Dalam kasus Rafael Alun yang memiliki kekayaan tidak sewajarnya terkuak bahwa ASN pajak memiliki komunitas tersendiri di internal Kemenkeu yang menampilkan gaya hidup hedonis, memiliki barang mewah dengan harga yang fantastis dan kekayaan tersendiri berupa aset yang menunjukkan bahwa laporan penerimaan pajak selama ini masih jauh dari apa yang dilaporkan kementerian keuangan ke publik,” tuturnya.

Ketiga, selain dua masalah di atas, sorotan publik juga mengarah pada status rangkap jabatan pada 39 orang ASN Kementerian Keuangan.

“Meskipun rangkap jabatan tersebut ditolerir di dalam Undang-Undang, tetapi akan menimbulkan dua masalah baru yakni Konflik Kepentingan dan Penyalahgunaan wewenang,” sebut Ranto Pasaribu.

Menurut Ranto, dua masalah tersebut erat kaitannya dengan tata kelola keuangan Negara, khususnya di lingkungan Kementerian Keuangan yang harusnya profesional dan transparan.

Keempat, dalam sebuah wawancara, Sri Mulyani secara terang-terangan mengakui soal rangkap jabatan sebagai amanat Undang-Undang.

“Tetapi memberi catatan bahwa gaji dan tunjangan yang diterima bersifat tunggal hanya diterima dari kementerian terkait, tidak diperbolehkan diterima dari jabatan lain,” lanjutnya.

“Yang menjadi masalah adalah realisasi kebijakan dari amanat Undang-Undang itu tidak pernah diwujudkan secara transparan, apakah gaji yang diterima tunggal ataukah jamak,” sebut Ranto Pasaribu.

Dalam kondisi seperti ini, Pengurus Pusat GMKI melalui Kabid Aksi dan Pelayanan Ranto Pasaribu mendukung penuh reformasi struktural dan transformasi sistem pengelolaan keuangan Negara di lingkungan Kementerian Keuangan.

“Agar lebih profesional dan transparan,” katanya.

Ranto Pasaribu juga menyampaikan ada dua langkah yang bisa di ambil oleh Presiden Joko Widodo dan DPR sebagai perumus Undang-Undang, serta Kementerian Keuangan.

Pertama, kondisi Kemenkeu menjadi catatan bagi Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kembali Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang BUMN, yang mengatur tentang rangkap jabatan.

Kedua, rangkap jabatan tetap diterima sebagai amanat Undang-Undang dengan pertimbangan khusus optimalisasi pelayanan publik.

“Tetapi harus menciptakan sistem kerja yang transparan dan profesional serta menjamin keterbukaan publik. Namun, faktanya tata kelola organisasi tidak profesional dan transparan,” tandasnya.