Prakarsa Widyacitta: 2024 Mengubah, Meniru atau Meneruskan?

Diskusi publik Lembaga Diskusi dan Kajian Prakarsa Widyacitta di X9 Cafe, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (9/3/2023). (rk)
Diskusi publik Lembaga Diskusi dan Kajian Prakarsa Widyacitta di X9 Cafe, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (9/3/2023). (rk)

Gemapos.ID (Jakarta) - Bertempat di X9 Cafe, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (9/3/2023) Lembaga Diskusi dan Kajian Prakarsa Widyacitta menggelar diskusi publik yang mengahadirkan Budiman Sudjatmiko, seorang aktifis politik pro demokrasi dan Hendri Satrio, akademisi Universitas Paramadina

Acara diawali dengan penghantar diskusi oleh Ketua Dewan Pengawas Lembaga Diskusi dan Kajian Prakarsa Widyacitta, I Ketut Guna Artha yang sering dipanggil Igat.

Pada diskusi publik yang mengambil tema "Agenda 2024: Mengubah, Meniru atau Meneruskan?" ini, Igat memulai dari mengapa pemilihan tema ini menjadi penting?

"Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah melakukan reformasi disemua sektor termasuk pajak, agraria, membangun sistem yang lebih transparan, penggunaan APBN yang Indonesia sentris dan membangun infrastruktur secara masif. Ketersediaan infrastruktur yang memadai diharapkan dapat mengurangi disparitas harga dan tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru yang diharapkan mendorong pemerataan ekonomi hingga ke desa," Igat dalam keterangannya.

"Dan yang paling monumental adalah mewujudkan gagasan Bung Karno memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Kalimantan. Setelah RUU IKN disahkan DPRRI, Prakarsa Widyacitta pernah mengusulkan 10 nama untuk IKN, walaupun pada akhirnya pak Jokowi memutuskan nama Nusantara," imbuhnya.

Dengan konsep kota hijau, menurutnya hal itu tak hanya terbatas pada persoalan membangun gedung, membangun kota namun membangun peradaban baru masa depan Indonesia menuju negara dengan kekuatan ekonomi 5 besar di dunia.

"Lalu memunculkan pertanyaan "Agenda 2024: Mengubah, Meniru atau Meneruskan?," pungkas Igat.

Dalam diskusi publik ini Hendri Satrio atau dikenal Hensat menyoroti bahwa disrupsi teknologi telah menggeser tatanan, etika dan prilaku. 

"Pemilu harus menjadi sarana demokrasi yang seluruh rakyat menyambut dengan gembira. Dibutuhkan pendewasaan dalam memahami sebuah kontestasi. Artinya perbedaan sikap dan pilihan politik tak boleh sampai ke hati. Oleh karena itulah dibutuhkan edukasi publik sehingga pasca pemilu tak menyisakan residu permusuhan," Hensat.

"Perubahan prilaku dan kepatutan harus menjadi agenda pemimpin.Pelayan publik hari ini sedang disorot masyarakat khususnya direktorat pajak dan bea cukai. Persoalannya adalah patut atau pantaskah memamerkan kekayaan sebagai pelayan masyarakat?,"

"Indonesia membutuhkan pemimpin cerdas dan berintegritas. Dari hasil penelitian saya terhadap preferensi pemilih kelompok muda dan milenial menunjukkan bahwa pemimpin yang dibutuhkan adalah pemimpin yang jujur dengan nilai skor tertinggi," Hensat.

Sementara Budiman Sudjatmiko mengajak audiens yang antusias menghadiri diskusi ini untuk menjadi manusia politik, sebagai warga negara yang melek politik.

"Karena jika sebatas menjadi politisi maka hanya didorong oleh motivasi kekuasaan. Padahal sebagai manusia politik harus memiliki visi dan gagasan, empati (berjiwa sosial), merakyat," Budiman.

Dalam konteks tema Agenda 2024: Mengubah, Meniru atau Meneruskan? Budiman menyoroti bahwa pemimpin harus mampu melakukan perubahan secara kualitatif, bukan hanya kuantitatif apalagi jika hanya 'cuantitatif' (transaksional).

"Perubahan kualitatif yang saya maksud disini adalah bagaimana seorang pemimpin memiliki paradigma sebuah pembangunan harus memberi manfaat yang semakin luas kepada masyarakat sekitar sebagai subyek pembangunan, misalnya melalui optimalisasi peran Bumdes dan UMKM," jelasnya.

"Ini mungkin yang menurut saya kurang disampaikan oleh jubir Presiden Jokowi kepada publik secara baik. Menurut saya retorika itu juga perlu dalam mengelola sebuah kebijakan. Misalnya bagaimana divestasi 51% saham Freeport adalah bentuk kedaulatan bangsa Indonesia menuju kemandirian ekonomi, amanat konstitusi bahwa kekayaan SDA Indonesia harus diperuntukkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat," imbuh Budiman.

Menurutnya, seorang pemimpin yang visioner tidak alergi untuk meniru keberhasilan kongkrit yang telah dilakukan pemimpin lain yang penting inovatif dan progresif.

"Dan wajib meneruskan hal yang baik bukan menciptakan sebuah antitesis. Karena jika terjebak tesis versus antitesis maka di 2024 kita akan kehilangan momentum menyongsong Indonesia emas seratus tahun kemerdekaan Indonesia tahun 2045," tegas Budiman.

Secara prinsip baik Hensat maupun Budiman memiliki kesamaan pandangan bahwa pemimpin 2024 yang dibutuhkan tetap harus punya visi perubahan, kemampuan menduplikasi dan meneruskan apa yang sudah baik agar pembangunan tetap pada track yang benar. (rk)