Warga Baduy Lebak Tak Pernah Kelaparan, Begini Cara Mereka Kelola Pertanian

Warga Baduy Lebak  (ist)
Warga Baduy Lebak (ist)

Gemapos.ID (Jakarta) - Warga Baduy di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten memiliki cara bertani yang unik. Mereka menerapkan pola pertanian tertentu sehingga ketersediaan hasil budi daya terjaga, dan mampu memenuhi kebutuhan pangan di sana.

Bulan Maret merupakan waktu yang ditunggu-tunggu oleh warga Baduy lantaran hasil pertanian selama enam bulan sudah bisa dipanen. Hasilnya pun melimpah karena tanaman lebih subur di musim hujan.

Biasanya mereka menanam padi di lahan huma atau dataran yang bukan sawah. Padi-padi di lahan huma berhektare-hektare di sana tampak sudah menguning. Mereka akan mengambil hasil panen selama dua pekan ke depan. Salah seorang petani Baduy asal Kecamatan Leuwidamar, Santa mengaku lega karena padi yang ditanam sehat dan lebat

"Kami merasa bahagia dan lega panen padi huma seluas 1 hektare itu dengan kondisi baik dan tidak terserang hama penyakit," bebernya, Minggu (5/3) lalu, 

Diungkap Santa, pola pertanian warga Baduy adalah dengan cara berpindah-pindah, sesuai kalender adat. Mereka melakukan penanaman padi, di luar area sawah sebagai cadangan.

Keuntungan menanam di huma atau tanah luar area sawah karena biasanya lahan yang dibuka akan dibakar, dan sisa pembakarannya menjadi nutrisi atau pupuk alami. Ini akan membuat tanaman padi dan palawija menjadi lebih subur.

"Panen padi huma dengan waktu 6 bulan itu bisa menambah stok pangan keluarga jika dilanda paceklik maupun ada serangan hama yang menimbulkan puso,” terangnya.

Disimpan di Dalam Leuit

Bagi masyarakat Sunda dan Baduy, Leuit menjadi sumber kedaulatan pangan yang diwariskan turun temurun oleh leluhur. Bangunan berbahan kayu, mirip rumah kecil ini dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan padi hasil panen.

Posisinya akan ditempatkan di belakang rumah dengan lebih tinggi. Ini memiliki fungsi agar padi yang disimpan tidak dimakan oleh hewan terutama tikus.

Leuit terbukti mampu mengawetkan padi secara alami tanpa menjadi busuk. Bahkan, umurnya bisa lebih panjang hingga puluhan tahun dengan tidak mengubah rasa dan bentuk.

“Itu masih bisa memenuhi kebutuhan selama 10 tahun mendatang," kata dia saat menjelaskan tentang Leuit.

Bercocok Tanam Hanya untuk Konsumsi Pribadi

Sementara petani lainnya, Kubil mengatakan bahwa warga Baduy juga menanam tanaman padi hanya untuk keperluan keluarganya. Ia menyebut jika hasil panen tidak dijual ke luar wilayah.

Menurut warga Desa Kadu Ketug, Leuwidamar itu leluhur melarang warganya menjual padi ke luar. Padi sebagai makanan pokok hanya boleh dijadikan sebagai bahan kebutuhan pribadi.

Ini yang kemudian membuat warga Baduy tidak pernah kelaparan, dan bisa bertahan hidup di masa paceklik lantaran hasil panen disimpan di dalam Leuit hingga bertahun-tahun.

"Kami belum pernah membeli beras karena stok gabah di lumbung cukup untuk memenuhi pangan keluarga," terangnya.

Di masa panen kali ini, lahannya seluas 5.000 meter persegi mampu menghasilkan 150 ikat padi untuk ketahanan pangan.

Tidak Memakai Pupuk Kimia

Dikonfirmasi tetua adat Baduy, Leuwidamar, Jaro Saija, sejak turun temurun warganya memang mematuhi perintah nenek moyang dalam pengelolaan pertanian.

Salah satu yang masih dipegang teguh adalah pantangan menggunakan pupuk kimia. Menurut Jaro, pupuk kimia akan mengubah kandungan tanah sehingga tidak sehat untuk tanaman.

Sebagai penggantinya, tanaman serta permukaan tanah hasil pembakaran lah yang bisa dijadikan pupuk dengan kualitas yang tak kalah bagus untuk padi.

"Kami menanam aneka tanaman termasuk padi huma. Kami dilarang menggunakan pupuk kimia, karena bisa menimbulkan kerusakan lahan," terang Jaro.

Hasil Panen Surplus

Jaro mengatakan, untuk masa panen di bulan Maret 2023 ini terbilang surplus. Ini karena kondisi cuaca yang bagus dengan curah hujan tinggi selama dua tahun belakangan.

Untuk mengolahnya pun mereka hanya mengandalkan pupur organik, dan tidak menggunakan cangkul maupun traktor. Berdasarkan perhitungannya, saat ini terdapat sebanyak 405 Leuit, dengan masing-masing kapasitas sebanyak 4 sampai 5 ton.

Masyarakat Badui yang berjumlah 11.620 jiwa, terdiri atas laki-laki 5.870 jiwa dan perempuan 5.570 jiwa, menempati tanah hak ulayat adat seluas 5.100 hektare, di antaranya 3.000 hektare hutan lindung yang tidak bisa dilakukan pertanian.

Warga Baduy disebut hanya bisa menggarap pertanian hingga seluas 2.100 hektare. Mereka tidak boleh bercocok tanam selain tanah hak ulayat seperti di Leuwidamar, Sobang, Cirinten, Cileles, Muncang, Gunungkencana, dan Bojongmanik.

 

Untuk bercocok tanam di luar hak ulayat, mereka diharuskan menyewa milik Perum Perhutani atau milik orang lain. Prinsip yang dipegang masyarakat Baduy adalah tidak masalah panen enam bulan sekali, asal kualitas yang dihasilkan sehat tanpa bahan kimia yang mempercepat masa panen.