3 Pendekatan Penanganan Ujaran Kebencian Diusulkan Akademisi ke Pemerintah

“Ujaran kebencian yang muncul terjadi karena dua faktor yaitu histori konflik dan memori kekerasan yang pernah terjadi di suatu wilayah serta tidak adanya upaya mediasi serta kontra narasi yang kuat saat provokasi ujaran kebencian terjadi,” kata Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Husni Mubarok.
“Ujaran kebencian yang muncul terjadi karena dua faktor yaitu histori konflik dan memori kekerasan yang pernah terjadi di suatu wilayah serta tidak adanya upaya mediasi serta kontra narasi yang kuat saat provokasi ujaran kebencian terjadi,” kata Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Husni Mubarok.

Gemapos.ID (Jakarta) - Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Husni Mubarok mengingatkan ujaran kebencian perlu diwaspadai pemerintah lantaran ini bisa berakibat bencana kemanusiaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). 

Contohnya, konflik etnis di Rwanda pada 1994, kerusuhan di Tanjung Balai pada 2016, dan permainan politik identitas terkait kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017.

“Ujaran kebencian yang muncul terjadi karena dua faktor yaitu histori konflik dan memori kekerasan yang pernah terjadi di suatu wilayah serta tidak adanya upaya mediasi serta kontra narasi yang kuat saat provokasi ujaran kebencian terjadi,” katanya.

Hal ini disampaikannya dalam ‘Diskusi Publik: Menangkal Ujaran Kebencian dalam Pemilu 2024’ yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina di Jakarta pada Kamis (2/3/2023). 

Pemerintah dapat menangani ujaran kebencian dengan tiga pendekatan yaitu secara moralitas, sanksi administratif, dan pidana bagi pelaku ujaran kebencian berat seperti hasutan dan provokasi yang mengarah pada kekerasan dan pelanggaran HAM.

“Penegakan hukum yang proporsional akan membuat para pelaku ujaran kebencian tidak lagi sewenang-wenang dalam melakukan hasutan dan provokasi,” ucap Husni Mubarok. 

Pada kesempatan yang sama Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini mengungkapkan ujaan kebencian, sumpah serapah, hoaks, dan permusuhan terus mengisi jagad maya dari waktu ke waktu. 

Kondisi ini menyebabkan tatanan, institusi, etika, dan budaya masyarakat di dunia nyata hancur.

“Pemerintah dan aparat negara di dalam kondisi genting seperti ini perlu menjadi penjaga atauran main, tiang institusi, dan tauladan dalam perilaku di jagad maya,” ucapnya. 

Bukan sebaliknya terlibat di dalam kerusakan tatanan tersebut karena berpihak di dalam polarisasi. 

“Selama ini ada indikasikan pemerintah dan aparat negara juga terlibat dalam masalah ini, sehingga bukan hanya sistem sosial politik di jagat maya tidak ada yang menjaga tetapi justru menjadikan dan menambah keadaan semakin runyam,” tuturnya. 

Jika penyelenggara negara tidak bisa menjadi tauladan dan menjadi dirigen dalam ujaran kebencian maka penyebaran ujaran kebencian akan semakin meluas.  

“Di sinilah titik kritik dari masalah ini tergantung kepada pemerintah dan aparat apakah akan menjadi bagian utama dari pilar solusi atau menjadi bagian dari masalah itu sendiri,” kata Didik J. Rachbini. 

Walaupun demikian, Husni Mubarok menyadari penindakan ujaran kebencian masih mengalami kesulitan akibat penanganan ujaran kebencian sering berkaitan dengan kasus-kasus yang seharusnya tidak masuk ke ranah pidana seperti pencemaran nama baik. 

Selain itu perbuatan tidak menyenangkan serta penistaan yang bisa memunculkan multi interpretasi. 

“Oleh karenanya, penanganan ujaran kebencian tidak bisa serta merta diterapkan begitu saja oleh pemerintah karena peluang untuk terjadinya pemberangusan kebebasan ekspresi bisa saja terjadi,” tuturnya. 

Polusi digital dalam bentuk hoaks dan ujaran kebencian, ucap Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Widjayanto, terjadi di 80 negara. 

Bahkan, Hasil Riset Oxford tahun 2020 menyebutkan ini diorkestrasi di banyak negara secara terorganisir oleh cyber troops (pasukan siber yang didanai). 

“Riset LP3ES dan Leiden menyimpulkan bahwa pemerintah dan parpol juga terlibat dalam operasi cyber troops ini,” ucapnya. 

Identitas PKI

Riset yang dilakukan oleh LP3ES dan Leiden dengan memotret jutaan percakapan di media sosial pada akun anonim dan pseudonim juga melihat karakteristik cyber troops adalah terorganisir dan membawa agenda promosi kebijakan pemerintah. 

“Namun di masa pilpres dan pilkada cenderung men-support kandidat tertentu serta menjelekkan (black campaign) kandidat yang tidak didukungnya,” ucapnya. 

Widjayanto mengemukakan praktik cyber troops melontarkan ujaran kebenjian dan hoaks pada kampanye Pilpres 2019.

Saat itu dimunculkan hashtag #2019gantipresiden, mengasosiasikan Jokowi pada identitas PKI dan terlibat dalam kriminalisasi ulama. 

“Kontra narasi dari kampanye hate speech ini juga bermunculan dengan ramai seperti isu agama dari kandidat lawan yaitu Prabowo (Subianto) dan Sandi (Sandiaga Uno) serta praktik peribadatan dari kedua kandidat ini,” ujarnya. 

Dengan demikian, praktisi media sosial diharapkan menginisiasi pembentukan gerakan content moderation bersama 12 organisasi. Langkah ini untuk melakukan edukasi serta filter terhadap konten hoaks dan ujaran kebencian.

“Perlu adanya  narasi alternatif berisi narasi politik yang berorientasi pada kebijakan seperti pengawasan terhadap pengelolaan pajak hingga isu banjir yang terkait dengan lingkungan,” tuturnya. (adm)