MAARIF Institute Luncurkan Jurnal "Fenomena Hijrah Generasi Milenial"

Peluncuran dan Diskusi Jurnal MAARIF edisi ke-40 Vol.17 No.2 Desember 2022 “Fenomena Hijrah Generasi Milenial (Kontestasi Narasi-narasi Agama di Ruang Publik)”, Rabu (25/1/2023).
Peluncuran dan Diskusi Jurnal MAARIF edisi ke-40 Vol.17 No.2 Desember 2022 “Fenomena Hijrah Generasi Milenial (Kontestasi Narasi-narasi Agama di Ruang Publik)”, Rabu (25/1/2023).

Gemapos.ID (Jakarta) MAARIF Institute menyelenggarakan Peluncuran dan Diskusi Jurnal MAARIF edisi ke-40 Vol.17 No.2 Desember 2022 dengan tema “Fenomena Hijrah Generasi Milenial (Kontestasi Narasi-narasi Agama di Ruang Publik). Kegiatan yang dilakukan melalui Webinar ini dilaksanakan pada Rabu (25/1/2023).

Webinar itu menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya : Hengki Ferdiansyah (Bincang Syariah), Syihaabul Hudaa (Kontributor Jurnal MAARIF) dan Moh. Shofan (Pimred Jurnal MAARIF). Acara ini dimoderatori oleh Ayu Arman (Penulis Buku).

Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Abd. Rohim Ghazali mengatakan akhir-akhir ini marak dijumpai gerakan hijrah di media sosial. Belum jelas siapa yang mengawali isitialh ini. Sebagai sebuah gerakan, hijrah ini dimulai dari kalangan musisi seperti Harry Moekti, Uki ‘NOAH’, Teuku Wisnu, Irwansyah, dan lain-lain.

Secara historis, hijrah dilakukan sebagai upaya menyelamatkan diri dari gangguan musuh, berpindah ke tempat yang lebih aman, untuk memulai fase baru dakwah. Momentum hijrah yang sangat penting ini dijadikan penanda awal kalender Islam. Sebagai metafora, pemaknaan hijrah masih terus terjadi sampai hari ini dalam suatu arena kontestasi pemaknaan yang akan terus berlangsung,” jelas Rohim Ghazali seperti dikutip dalam keterangan tertulisnya Jumat (27/1/2023).

 Hengki memaparkan hijrah yang popular belakangan ini bukan hijrah Rasul dan para sahabat tempo dulu, sebagaimana kita saksikan, baik di media sosial ataupun media cetak. Dulu, Hijrah dilakukan pada masa Rasul karena umat Islam mengalami banyak diskriminasi dan penyiksaan. Mereka berada pada situasi yang tidak aman dan nyaman.

 “Makna hijrah hari ini sekadar membentuk berbagai identitas dan gerakan-gerakan simbolik untuk menjadi penegas bahwa mereka sudah bermigrasi. Misalnya, agama dipersempit hanya dalam fashion semata, cara berpakaian yang awalnya ketat kini berubah menjadi lebih syar‟i dengan kerudung panjang dan lebar menutupi dada dan baju longgar. Makna-makna simbolis seperti itu harus digeser ke arah yang lebih substantif,” tegas Hengki.

Syihaabul Hudaa (Kontributor Jurnal MAARIF) menjelaskan hasil penelitiannya tentang Pesan Dakwah Hijrah Influencer untuk Kalangan Muda di Media Sosial’. Riset ini secara kritis memotret situasi pandemi yang melanda dunia, di mana banyak penutupan tempat ibadah dan fasilitas umum dilakukan pemerintah untuk meminimalisasi penyebaran virus covid-19.

Menurutnya, sebagai upaya penyebaran dakwah, media sosial menjadi tempat yang efektif untuk menyebarkan syiar Islam. Beberapa influencer pun banyak memberikan tausiah yang menginterpretasikan dakwah melalui unggahan akun media sosialnya.  

 “Hasil penelitian ini menemukan bahwa tren hijrah di kalangan selebritas membawa perubahan yang signifikan di masyarakat. Media sebagai penyebar informasi menyebarkan fenomena hijrah secara eksplisit dengan tujuan masyarakat mudah memahami pesan yang disampaikan. Selain itu, bentuk dakwah pun dalam era digital dapat dilakukan melalui permainan yang banyak dimainkan generasi milenial,” papar Hudaa.

Sementara itu Shofan, Pimred Jurnal MAARIF, melihat bahwa artikel-artikel dalam jurnal ini secara kritis membincang tentang fenomena hijrah, baik di kalangan artis maupun di kalangan anak-anak muda millennial. Secara umum gerakan hijrah menawarkan hal positif sebagai upaya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Akan tetapi, gerakan ini juga dilihat memiliki kerentanan terhadap ekslusivisme.

“Hijrah yang banyak dijumpai di berbagai kota cenderung sebatas perubahan kebiasaan hidup menjadi lebih Islami saja bahkan mengarah pada pembentukan pola pikir jumud dan intoleran. Justru mereka terjebak pada klaim merasa ’paling hijrah’, namun merendahkan sesama umat yang melakukan amalan yang berbeda dengan kelompoknya atau pemahamannya saja,” ungkap Shofan.

 Acara peluncuran Jurnal ini diikuti tidak kurang seratus peserta, baik dari kalangan akademisi, mahasiswa, aktivis, maupun  masyarakat secara umum. Bagi yang ingin menyimak Jurnal MAARIF edisi kali ini dapat mengaksesnya ke https://jurnal-maarifinstitute.org/index.php/maarif. (rk)