Masa Jabatan Kades, Masalah dan Fokus Pembangunan Desa

Ketum LMND Muhammad Asrul. (ist)
Ketum LMND Muhammad Asrul. (ist)

Dunia sedang mengalami ketidakpastian karena berhadapan dengan krisis  politik, energi, pangan, dan resesi. Meluasnya aksi demonstrasi, volatilitas harga minyak, naiknya harga pangan, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat sebagai penandanya. 

Desa yang terintegrasi dalam dunia global rentan terdampak gejolak dikarenakan keberadaan rantai pasokan yang saling berhubungan. Gejolak global bisa dihindari jika desa fokus untuk mempersiapkan diri terutama dalam soal sumber pangan yang telah lama menjadi fokus produksinya. Ditambah lagi dengan pengkayaan strategi diversifikasi pangan untuk menguatkan ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.

Pentingnya peran desa sebagai leading untuk tahan banting terhadap pengaruh masalah global masuk ke Indonesia menuntut transformasi dalam pengelolaannya.

Desa harus didorong untuk berkerja sesuai dengan dinamika sosialnya dan menfilter situasi eksternal yang berpotensi menghambat agenda-agenda besar desa. Seperti pemilu 2024 yang diproyeksikan banyak orang akan terjadi pertentangan keras yang mengakibatkan pembelahan sosial yang panjang.

Memang hal tersebut tidak bisa dihindari tetapi desa harus mampu menetralisir perpecahan sosial yang terjadi. Mengingat, desa menjadi penyangga penting dalam pembangunan nasional. 

Saat ini organisasi kepala desa ingin melakukan revisi UU tentang desa yang salah satu poinnya mengenai penambahan masa jabatan menjadi 9 tahun. Alasannya ini berdasarkan situasi objektif desa ketika setelah pemilihan terjadi pembelahan sosial. 

Perpanjangan masa jabatan kepala desa dengan mempertimbangkan situasi objektif setelah pemilihan Kepala desa yang cenderung terjadi pembelahan sosial, ketika hanya masa 6 tahun pemerintahan terpilih kerja-kerjanya terkuras untuk mendamaikan masyarakat yang bermasalah sehingga menghambat pembangunan desa.

Sebenarnya masih banyak masalah sosial yang ada di desa.

Desa perlu mendorong partisipasi warga dan penguatan lembaga BPD sebagai manifestasi demokrasi politik yang ada di desa. Karena dalam perjalanannya, desa cenderung dikomodifikasi oleh elit lokal.

Penguasaan desa oleh elit lokal menghasilkan ketimpangan asset, akses, pendapatan, dan peluang. Banyak yang memprediksi bahwa keadaan tersebut semakin parah ketika masa jabatan kepala desa akan diperpanjang. Ini sesuatu yang debatable.

Dalam pandangan kami, yang menjadi penyebab elite lokal memonopoli desa, ternyata karena besarnya porsi anggaran untuk desa yang berorientasi terhadap pembangunan infrastruktur.

Praktek monopoli proyek infrastruktur yang dilakukan oleh para elite lokal menyebabkan ketimpangan yang meluas.

Tidak jarang perilaku korup tersebut berurusan dengan hukum. KPK merilis data pada tahun 2022 bahwa terdapat 686 kepala desa yang tersangkut kasus korupsi.

Kalau ingin anggaran tersebut berhasil mengatasi ketimpangan dan menghindari prilaku korup, maka harus ada perubahan paradigma pembangunan desa yang berorientasi infrastruktur menjadi pembangunan sumber daya manusia.

Hal ini sejalan dengan yang tertulis dalam lagu kebangsaan "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya". Ini bukanlah sebatas lagu tetapi memiliki kekuatan dan pengalaman historical yang teruji dalam membangkitkan nasionalisme untuk mengusir penjajah. 

Pembangunan sumber daya manusia desa akan menjadi titik penting perubahan mendasar dalam perkembangan desa. Dengan manusia yang berpengetahuan, terdidik, dan berkebudayaan, desa akan maju dan tidak lagi dilihat sebagai wilayah yang tertinggal. 

Saat ini banyak desa yang sudah beradaptasi dengan menggunakan teknologi sebagai alat untuk memudahkan pekerjaan terhadap manusia baik dalam bentuk kerja produksi dan administratif pemerintahan.

Kemajuan-kemajuan ini akan terhambat kalau desa hanya fokus dalam pembangunan infrastruktur yang manfaat besarnya hanya dimiliki oleh elit lokal dalam mengamankan jaringan bisnis dan kekuasaannya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian perusahaan-perusahaan yang berada di desa memanfaatkan dana desa untuk membangun infrastruktur demi kelancaran mobilisasi barang dan jasa.

Peralihan distribusi dana dari pembangunan infrastruktur menjadi pembangunan sumber daya manusia akan mendorong kemajuan-kemajuan yang sudah terjadi dan tentunya memangkas ketimpangan sosial.

Karena lahirnya UU No 6 Tahun 2014 tentang desa salah satunya bertujuan untuk menghapus ketimpangan sosial. Hal tersebut tidak akan tercapai kalau orientasi pembangunan desa masih berfokus terhadap infrastruktur.

Lebih jelasnya UU tersebut ingin menjadikan desa berdaya, kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyaratkat yang adil, makmur, dan sejahtera. 

Tujuan mulia UU tersebut tidak boleh terinterupsi. Jika ingin merevisinya maka poin-poin di atas, terutama tentang perubahan paradigma pembangunan harus menjadi prioritas yang sama dengan tuntutan lainnya. 

Muhammad Asrul, Ketua Umum EN-LMND