Ini Sikap Pengamat atas Pencabutan Skema Power Wheeling dalam UU EBT oleh Pemerintah

“Saya menyambut positif keputusan pemerintah yang akhirnya mencabut skema power wheeling dari Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT),” katanya di Jakarta pada Minggu (23/1/2023).
“Saya menyambut positif keputusan pemerintah yang akhirnya mencabut skema power wheeling dari Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT),” katanya di Jakarta pada Minggu (23/1/2023).

Gemapos.ID (Jakarta) -Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi berpendapat skema power wheeling berpotensi menambah beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Langkah ini merugikan negara dan merugikan rakyat sebagai konsumen listrik.

“Saya menyambut positif keputusan pemerintah yang akhirnya mencabut skema power wheeling dari Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT),” katanya di Jakarta pada Minggu (23/1/2023). 

Power wheeling juga akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30% dandan pelanggan non-organik hingga 50%. Penurunan jumlah pelanggan PLN ini dapat memperbesar kelebihan pasokan PLN dan menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik.

Dengan demikian, power wheeling dapat membengkakkan beban APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN. Hal ini akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian.

"Power wheeling juga berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen, dengan penetapan tarif listrik yang diserahkan pada mekanisme pasar. Dengan power wheeling, penetapan tarif listrik ditentukan oleh demand and supply, pada saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan," imbuhnya.

Power wheeling merupakan mekanisme yang mengizinkan perusahaan swasta atau Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik. Selain itu menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri.

Penjualan setrum IPP dengan mempergunakan jaringan distribusi dan transmisi milik PLN melalui open source dengan membayar biaya (fee) yang ditetapkan oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). 

Fahmy menilai power wheeling merupakan liberalisasi kelistrikan yang melanggar Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa "cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.

Power wheeling merupakan pola unbundling diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Pola itu sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 111/PUU-XIII/2015 MK.

Keputusannya menyebutkan unbundling dalam kelistrikan tidak sesuai dengan UUD 1945 yang diganti dengan UU No.30/2009, dengan menghilangkan pasal unbundling.

"Berhubung power wheeling berpotensi merugikan negara dan memberatkan rakyat serta melanggar UUD 1945, UU Ketenagalistrikan dan Keputusan MK, penarikan pasal power wheeling dari RUU EBT merupakan langkah yang sangat tepat," ujarnya. 

Selanjutnya semua pihak harus ikut mengawal proses pembahasan RUU EBT agar sesuai dengan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diserahkan pemerintah ke DPR.

 Jadi, tidak terdapat penyelundupan pasal siluman serupa dengan power wheeling yang tidak sesuai dengan DIM. (mau)