Kasus Mahasiswi UNY, LMND: Pendidikan Hidupkan Kemanusiaan Bukan Mematikan

Wakil Ketua I LMND Bidang Politik Dalam Negeri, Claudion Kanigia Sare. (ist)
Wakil Ketua I LMND Bidang Politik Dalam Negeri, Claudion Kanigia Sare. (ist)

Gemapos.ID (Jakarta) - Beberapa hari terakhir, perasaan publik di aduk-aduk oleh pemberitaan meninggalnya seorang mahasiswi asal Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Mahasiswi yang bernama Nur Riska ini telah membuka mata publik betapa mahalnya biaya pendidikan saat ini. Nur Riska dikabarkan meninggal dunia pada 9 Maret 2022 yang lalu akibat pembuluh darah pecah.

Ia diketahui berjuang sekuat tenaga dan merelakan waktu belajarnya untuk bekerja agar dapat membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang biayanya sangat sulit untuk dipenuhinya.

"Keadaan yang dialami Nur Riska merupakan tamparan keras dan sangat menyedihkan bagi wajah pendidikan Indonesia saat ini. Bagaimana tidak, pendidikan yang seharusnya memanusiakan, mudah diakses seluruh rakyat, murah tetapi saat ini telah menjadi komoditas dan sulit untuk diakses. Pendidikan itu harusnya menghidupkan kemanusiaan bukan mematikan," kata Wakil Ketua I LMND Bidang Politik Dalam Negeri, Claudion Kanigia Sare dalam siaran pers tertulisnya, Jumat (20/1/2023).

Jika merujuk data survey yang dilakukan mahasiswa UNY mengenai biaya pendidikan di kampus tersebut, kata Dion, terdapat 1020 dari 1045 mahasiswa merasa keberatan akan besaran biaya pendidikan. Padahal penetapan besaran UKT menurut Permendikbud nomor 25 tahun 2020 haruslah disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa.

Lebih lanjut, Dion mengatakan bahwa berubahnya banyak Perguruan Tinggi Negeri ke Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum akan membuka ruang liberalisasi dan kapitalisasi besar-besaran terhadap kampus dan dunia pendidikan. Hal ini akan menyebabkan banyak mahasiswa lagi yang akan kesulitan dalam memenuhi biaya pendidikan.

"Integrasi kampus dari PTN ke PTN-BH akan menjadikan kampus otonom dalam menetapkan besaran biaya pendidikan. Ini akan memicu makin besar angka putus sekolah karena tidak sanggup dalam membiayai uang masuk perguruan tinggi. Jika demikian, kampus pada akhirnya tidak lagi sebagai lembaga yang mencerdaskan bangsa tetapi akan menjadi komoditas," tegas Dion.

Selain itu, Dion mengungkapkan bahwa pendidikan seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mekanisme PTN-BH, kata Dion, bentuk hilangnya tanggung jawab negara atau negara ingin lepas tangan dalam mengatur jalannya pendidikan sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

"Hal ini memicu potensi kesewenang-wenangan pihak lembaga kampus dalam urusan biaya pendidikan. Persoalan ini merupakan bentuk-bentuk nyata liberalisasi pendidikan dalam dunia kampus," kata Dion.

Oleh karena itu, Dion menegaskan bahwa semangat pendidikan nasional harus dikembalikan pada amanat Undang Undang Dasar 1945 dimana dalam BAB XIII pasal 31 ayat 1, menyatakan bahwa “tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran”. Dengan demikian, kejadian yang dialami Nur Riska atau persoalan pendidikan lainnya menjadi pelajaran sehingga tidak ada lagi Riska-Riska yang lain menimpa warga negara Indonesia, ungkapnya.

Terakhir, Dion mendorong pemerintah lewat kementerian Pendidikan agar lebih menghadirkan kebijakan yang lebih maju di bidang pendidikan serta dapat diakses oleh seluruh rakyat Indonesia. Ia mengingatkan pemerintah agar menghentikan segala bentuk praktek bisnis dalam dunia pendidikan saat ini. (rk)