Merebut Suara Pemilih Muda Lewat Isu Krisis Iklim

Ilustrasi-pemilih pemula dan pemilih muda dalam pemilu. (ant)
Ilustrasi-pemilih pemula dan pemilih muda dalam pemilu. (ant)

Rangkaian agenda Pemilihan Umum 2024 akan dimulai tahun ini, termasuk kampanye kandidat, baik presiden dan wakilnya, serta legislatif di tingkat nasional dan daerah.

Pemberitaan media massa pada tahun-tahun sebelumnya menyoroti materi kampanye peserta pemilu yang dianggap mengabaikan substansi.

Aktor politik yang bertarung dalam pemilu disebut lebih banyak memunculkan sensasi ketimbang mengedukasi publik mengenai substansi isu yang dikampanyekan. Sebuah survei menunjukkan, masa kampanye kandidat calon presiden didominasi isu sensasional ketimbang substansial.

Namun, menyongsong Pemilu 2024, peserta politik yang tidak lagi menekankan substansi isu saat kampanye akan menghadapi tantangan dari para pemilih yang lebih kritis.

Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMCR) menunjukkan, jumlah pemilih kritis pada pemilu mendatang mencapai 72 persen. Pemilih kritis dikategorikan sebagai pemilih yang tak mudah goyah atau dipengaruhi, sebaliknya, mereka bisa mempengaruhi pemilih lain.

Jajak pendapat oleh Litbang Kompas, Oktober 2022, mengungkapkan pemilih muda cenderung lebih kritis menilai kinerja dan keberadaan lembaga parlemen.

Pemilih muda

Suara para pemilih pemula dan muda dalam pemilu di Indonesia belum pernah sepenting dan sesignifikan saat ini. Menurut survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS), proporsi pemilih muda berusia 17-39 tahun diprediksi mendekati 60 persen, terdiri dari generasi Z (17-23 tahun) dan milenial (24-39 tahun).

Yang menarik, survei mengungkapkan lingkungan merupakan salah satu isu strategis yang mendapat perhatian tinggi para pemilih muda, selain kesehatan, ketenagakerjaan, demokrasi, dan pemberantasan korupsi.

Mayoritas (76,9 persen) pemilih muda berpendapat, lingkungan dan perubahan iklim merupakan isu yang mendesak ditangani, sementara mereka mengaku merasakan lingkungan hidup semakin rusak. Kepedulian pemilih muda pada isu-isu strategis ini diprediksi lebih tinggi dibanding pemilu-pemilu sebelumnya.

Temuan itu sejalan dengan survei terdahulu yang menyatakan mayoritas responden (82 persen) berusia 17-35 tahun mengetahui isu perubahan iklim. Isu yang paling mereka khawatirkan, di antaranya kerusakan lingkungan (82 persen) dan perubahan iklim (70 persen), termasuk meningkatnya cuaca ekstrem, seperti banjir, angin topan, dan kekeringan.

Survei global di 14 negara menunjukkan hasil serupa, perubahan iklim tetap menjadi isu lingkungan paling penting. Sekitar enam dari 10 responden (57 persen) mengatakan mereka akan menolak memberikan suara untuk partai politik yang kebijakannya tidak menanggapi perubahan iklim dengan serius.


Dua per lima responden secara global merasa sudah melakukan sebanyak mungkin upaya demi lingkungan, seperti mendaur ulang, menghemat energi dan air di rumah.

Di Indonesia, para pemilih muda (43 persen) pun setuju membayar Rp30 ribu hingga Rp150 ribu per bulan (22 persen) untuk mengatasi krisis iklim. Tindakan individu memang penting, namun upaya itu tidak cukup.

Perlu diingat, kesediaan individu berkontribusi dalam mengatasi krisis ini tidak berarti para pemimpin politik bisa melepaskan tanggung jawab mereka.

Agenda politik

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 95 persen bencana yang terjadi Tahun 2022 merupakan bencana hidrometeorologi, yaitu banjir dan longsor. Bencana dalam kelompok hidrometeorologi merupakan yang terbanyak, dengan kecenderungan mengalami peningkatan yang dipicu oleh perubahan iklim.

Secara keseluruhan, kajian Bappenas menunjukkan, dampak perubahan iklim berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp544 triliun.

Korban jiwa, kerusakan lingkungan, dan kerugian finansial akibat krisis iklim harus diselesaikan melalui tindakan yang lebih besar. Kita punya banyak sekali daftar untuk dilakukan.

Pertama-tama dan yang paling utama adalah kepemimpinan politik yang menjadikan krisis iklim sebagai agenda politik prioritas untuk diselesaikan. Kerusakan lingkungan dan bencana alam tidak bisa lagi diserahkan hanya kepada BNPB dan menteri lingkungan hidup.

Pemilu 2024 merupakan agenda politik yang sangat krusial karena seluruh rakyat Indonesia akan memilih presiden hingga kepala daerah secara serentak. Di saat yang sama, tahun 2023 dan tahun-tahun mendatang adalah waktu yang sangat mendesak bagi setiap negara untuk menunjukkan komitmennya menangani krisis iklim.

Sebagaimana telah diingatkan oleh para ahli dalam Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), saat ini kita sudah sangat terlambat untuk mencapai target iklim 1,5°C.

Cara-cara lama mengatasi krisis iklim hanya dari sisi penanganan pascabencana atau hanya melihat dari satu sektor lingkungan hidup saja, harus ditinggalkan. Kita tahu, penyumbang emisi tertinggi—76 persen atau 37.2 GtCO2—adalah sektor energi, yang memainkan peran penting dalam kegiatan ekonomi, baik skala makro maupun mikro di rumah-rumah. Karena itulah, memberi perhatian besar pada sektor ini adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar.

Ketika dalam debat capres bertema energi tahun 2019 isu energi terbarukan sama sekali tidak disinggung dari dua pasangan calon, desakan agar para kandidat eksekutif dan legislatif tahun ini menempatkan prioritasnya pada sumber energi terbarukan sangat besar.

Kesadaran dan pengetahuan para aktor politik mengenai bahaya mengabaikan perubahan iklim sangat dibutuhkan dan harus muncul dalam kampanye serta program-program konkret mereka.

Dengan target meraih dukungan dari para pemilih pemula dan pemilih muda yang jumlahnya tak kurang dari 100 juta suara–yang tak bosan-bosannya menyuarakan aspirasi mereka di media sosial maupun lewat aksi iklim turun ke jalan–, sangat relevan jika peserta pemilu, baik partai politik maupun aktor-aktornya, menyertakan isu krisis iklim sebagai materi kampanye dan program politik mereka.

Adhityani Putri, Pegiat isu iklim dan energi yang juga merupakan founder sekaligus Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH