Sistem Proporsional Jadi Pemicu konflik? Ini Penjelasan Pengamat

Pengamat Politik dari Universitas Widya Mandira Kupang Mikhael Rajamuda Bataona. (ant)
Pengamat Politik dari Universitas Widya Mandira Kupang Mikhael Rajamuda Bataona. (ant)

Gemapos.ID (Jakarta) - Pengamat Politik dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Nusa Tenggara Timur, Mikhael Rajamuda Bataona mengatakan pemilihan umum (pemilu) dengan sistem proporsional terbuka ataupun tertutup menjadi pemicu konflik antara dua rezim oligarki partai politik (parpol).

"Polemik sistem proporsional baik terbuka maupun tertutup menjadi pertaruhan eksistensi penguasa-penguasa yang bercokol di internal parpol di belantika politik nasional," katanya ketika dihubungi di Kupang, Kamis, (19/1/2023).

Ia mengatakan para penguasa parpol sedang dipertaruhkan dalam hal akumulasi kekuasaan, pengaruh, dan kapital atau modal ekonomi.

Menurut dia, parpol yang berpikir bahwa sistem proporsional terbuka lebih baik adalah mereka yang sudah merasakan manfaat dan kenyamanan dari sistem ini, yakni kenyamanan dalam konsolidasi kekuasaan juga akumulasi modal dan kapital.

Jika sistem ini diganti ke sistem tertutup, kata dia maka eksistensi rezim oligarki di setiap partai beserta semua jejaring dari pusat hingga ke daerah akan dipertaruhkan.
 
Dalam pemilu langsung, peluang kemenangan bagi sang calon yang mempunyai topangan ekonomi yang kuat bisa saja kehilangan peluang karena yang dicoblos adalah partai bukan calon.


"Jadi masalah yang dihadapi partai-partai yang menolak sistem tertutup adalah sistem tertutup merugikan partai tersebut," katanya.

Rajamuda Bataona mengatakan kelemahan sistem terbuka yaitu yang lolos dalam pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mayoritas pengusaha dan pebisnis, sedangkan tokoh-tokoh akademik yang memiliki integritas akan sangat sulit bertarung dan lolos.

"Peluang untuk lolos sangat kecil karena sistem politik sudah menjadi bar-bar dan industrial," katanya.

Secara aspek ekonomi politik, kata dia, sistem proporsional terbuka sangat menguntungkan mereka yang memiliki kekuatan ekonomi. Sedangkan, mereka yang punya mutu kepala dan mampu berdebat, serta kritis dalam merumuskan kebijakan belum tentu terpilih karena pemilih sudah sangat paradigmatis dan materialistis.

Rajamuda Bataona mengatakan sistem proporsional dalam pemilu memiliki kekurangan yakni sistem proporsional terbuka telah membuat sistem demokrasi menjadi demokrasi uang. Sebaliknya, kata dia, kelemahan sistem proporsional tertutup adalah publik tidak pernah tahu siapa yang akan dipilih membuat oligarki politik di internal partai makin menguat.
 
"Sehingga partai bisa saja dibayar oleh beberapa calon yang duduk, dan ketika sistem ini dipraktikkan maka demokrasi tidak lagi demokratis tetapi akan menimbulkan praktik tirani, diskriminasi, dan elitisme di internal partai," katanya. (ry)