Partai Ummat vs PAN, Berburu Suara di Kolam yang Sama

Logo Partai Ummat dan PAN. (ist)
Logo Partai Ummat dan PAN. (ist)

Partai Ummat akhirnya dinyatakan lolos verifikasi partai politik sehingga berhak mengikuti Pemilihan Umum 2024. Debut partai dengan ikon M. Amien Rais itu bakal diuji pada hajatan politik elektoral pada tahun depan.

Sejak ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) minimal 4 persen diberlakukan pada Pemilu 2019, tidak ada partai baru--yang dibentuk menjelang Pemilu 2019--yang berhasil menempatkan wakilnya di DPR RI. Partai lama, seperti PBB dan Hanura, pun gagal memenuhi ambang batas 4 persen.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang digerakkan oleh sejumlah politikus muda dan ditarget mampu mengisi kursi DPR RI dari hasil Pemilu 2019, pun ternyata hanya meraih suara signifikan di DKI Jakarta.

Apakah Partai Ummat akan mengalami nasib sama seperti itu pada Pemilu 2024? Dari berbagai survei yang dilakukan lembaga riset politik, perolehan suara partai yang diketuai Ridho Rahmadi itu selalu di bawah 2 persen. Sebuah perjuangan mahaberat di tengah tantangan mengonsolidasikan kekuatan internal partai.

Dari pemilihan nama partai hingga melihat latar belakang sejumlah sosok pengurus partai tersebut, tidak susah untuk menebak bahwa Partai Ummat mengincar konstituen Islam, terutama perkotaan. Padahal basis massa pemilih tersebut relatif kecil. “Kue” yang kecil ini pun diperebutkan banyak partai, seperti PKB, PAN, PKS, PBB, dan Partai Gelora yang diprakarsai mantan elite PKS.

Kelahiran Partai Ummat tidak terlepas dari disingkirkannya Amien Rais dari PAN setelah Zulkifli Hasan kembali terpilih menjadi ketua umum pada Kongres V PAN di Kendari pada tahun 2020.

Pada Pemilu 2019 yang dimenangi PDI Perjuangan, PAN menghimpun 9,57 juta suara atau 6,84 persen dan menempatkan 44 wakilnya di DPR RI. Perolehan suara ini di bawah PKB sebanyak 9,69 persen (58 kursi) dan PKS yang meraih 8,21 persen (50 kursi), namun di atas PPP yang hanya meraih 4,52 persen (19 kursi).

Merunut ke belakang, kelahiran PAN pada 23 Agustus 1998 tidak bisa dilepaskan dari sosok Amien Rais, yang sebelumnya merupakan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Sebagai partai terbuka, dalam kepengurusan di DPP PAN kala itu memang diisi sosok-sosok beragam latar belakang, mulai dari A.M. Fatwa, Faisal Basri, Goenawan Mohamad, hingga pengusaha Alvin Lie Ling Piao.

Kendati demikian, euforia politik kala itu menjadikan banyak aktivis, anggota, hingga simpatisan Muhammadiyah di Jakarta dan daerah-daerah yang bergabung di jajaran DPP dan DPD.

Oleh karena itu, tidak berlebihan bila dinilai bahwa sejak awal PAN memang banyak membidik dan mengandalkan pemilih yang memiliki kedekatan dengan Muhammadiyah. Setidaknya, jamaah Muhammadiyah bisa dijadikan basis konstituen utama partai berlambang Matahari terbit itu. Entah kebetulan atau tidak, lambang Matahari terbit PAN menyerupai logo Muhammadiyah, hanya beda warna dan jumlah ujung sinar.

Kedekatan emosional dan historis antara jamaah dan simpatisan Muhamamdiyah dengan PAN memang terbentuk sejak kelahiran partai tersebut. Dan, itulah yang selama ini banyak menopang perolehan suara PAN.

Yang kemudian banyak dipertanyakan apakah kelahiran Partai Ummat bakal menyusutkan perolehan suara PAN pada Pemilu 2024, mengingat ada irisan besar konstituen kedua partai ini? Secara hipotetis, dengan melihat relasi ikatan emosional antara Amien Rais dengan sebagian jamaah Muhammadiyah, sangat mungkin sebagian pemilih PAN di masa lalu bakal mengalihkan dukungannya ke Partai Ummat.

Bisa jadi ada semacam respons tidak rela bahwa idolanya malah disingkirkan oleh para politikus yang dibesarkan oleh partai yang dimotori oleh Amien Rais. Oleh karena itu, realistis pula bila mereka mengalihkan dukungan ke Partai Ummat. Kelompok ini pula yang bakal menjadi basis dukungan suara Partai Ummat.

Mengingat terbatasnya basis suara tersebut, mau tidak mau Partai Ummat harus menggarap kelompok pemilih lain agar bisa mewujudkan impiannya bisa lolos parliamentary threshold. Ambang batas perolehan suara minimal 4 persen ini bakal menjadi pertarungan hidup-mati, terutama bagi partai-partai yang selama ini selalu berada di luar tiga besar.

Dari berbagai survei mutakhir menyebutkan perolehan suara PAN sebenarnya tidak aman karena tidak pernah meraih lebih dari 4 persen. Hasil sigi tersebut tidak terlalu mengejutkan karena setiap menjelang pemilu, sejumlah lembaga survei juga melaporkan perolehan suara PAN di bawah 4 persen.

Namun, kenyataannya pada Pemilu 2014 dan 2019, partai yang dinakhodai Zulkifli Hasan ini selalu mampu membalikkan hasil survei, sehingga selalu sukses melompati pagar ambang batas perolehan suara minimal parlemen.

Bagi PAN, ancaman penggerogotan suara bukan kali ini saja terjadi. Pada tahun 2006, sejumlah kader muda Muhammadiyah mendirikan Partai Matahari Bangsa untuk berlaga pada Pemilu 2009, dengan Ketua Umum Imam Addaruqutni, yang sebelumnya anggota DPR RI dari PAN.

Namun, partai tersebut gagal mendulang suara meyakinkan, hanya meraih 414.750 suara atau 0,4 persen pada Pemilu 2009, sedangkan PAN meraup 6.254.580 suara atau 6,01 persen. Dibandingkan dengan perolehan suara PAN pada Pemilu 2004 memang ada penurunan, namun tidak signifikan. Pada Pemilu 2004, PAN menghimpun 7.303.324 suara atau 6,44 persen suara dengan menempatkan 53 wakilnya di parlemen.

Keretakan partai yang diikuti dengan pendirian partai baru sesungguhnya jamak terjadi di negeri ini. PDIP, PKB, Golkar, hingga PKS, pernah mengalami. Namun, sejarah membuktikan bahwa partai-partai lama itu selalu mampu eksis.

Dengan mengandalkan basis dukungan kantong suara yang relatif sama dengan PAN, apakah Partai Ummat bisa menorehkan sejarah baru, seperti dijanjikan Ketua Umum Ridho Rahmadi? Hasil Pemilu 2024 yang membuktikannya. (rk)