Pengusaha Keluhkan Dampak Penerbitan Perppu Ciptaker

"Jadi kalau kita ambil Desember, itu sudah pasti satu juta lebih. Ini yang sudah jelas mengambil JHT karena PHK," kata Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani di Jakarta pada Selasa (4/1/2023).
"Jadi kalau kita ambil Desember, itu sudah pasti satu juta lebih. Ini yang sudah jelas mengambil JHT karena PHK," kata Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani di Jakarta pada Selasa (4/1/2023).

Gemapos.ID (Jakarta) - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan satu juta lebih pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang 2022.

Hal itu berdasarkan data pengambilan klaim oleh pekerja dengan alasan PHK yang tercatat di BPJS Ketenagakerjaan pada periode Januari-November 2022 yang mencapai 919.071 pekerja.

"Jadi kalau kita ambil Desember, itu sudah pasti satu juta lebih. Ini yang sudah jelas mengambil JHT karena PHK," kata Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani di Jakarta pada Selasa (4/1/2023).

Banyak faktor penyebab terjadi PHK sepanjang tahun lalu seperti dampak pandemi Covid-19, PHK dan penurunan permintaan ekspor. 

"Banyak faktor, imbas pandemi, ada masalah ekspor drop. Ada juga faktor perusahaan yang melakukan efisiensi," katanya.

Hariyadi Sukamdani mengemukakan kebijakan soal upah minimum juga dinilai turut mempengaruhi langkah perusahaan seperti efisiensi. Namun, ia menyebut hal itu tidak terjadi secara langsung.

"Ada pengaruh (UMP) juga, mungkin tidak secara langsung pengaruh UMP, perusahaan melakukan efisiensi," ujarnya. 

Sementara itu Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan SDM BPP Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Nurdin Setiawan mengungkapkan industri tekstil telah mengalami penurunan pesanan (order) sejak 2022.

Kondisi tersebut telah membuat perusahaan-perusahaan tekstil terpaksa harus melakukan PHK terhadap 60 ribu karyawan.

"Sejak awal 2022 terjadi penurunan order 30%-50%. Anggota kami yang berorientasi ekspor dan padat karya, di kuartal I 2023 ini rata-rata order hanya 65 persen. Artinya 35 persen secara operasional utility kami kosong, sementara tenaga kerja harus kita bayarkan," ucapnya.

Bagi perusahaan padat karya seperti industri tekstil, biaya tenaga kerja masuk biaya terbesar kedua setelah biaya material. Jadi, kenaikan upah di atas rata-rata menjadi beban berat perusahaan.

Nurdin Setiawan mengemukakan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja berdampak terhadap ketidakpastian hukum. 

Hal itu lantaran isu ketenagakerjaan di Perppu Cipta Kerja juga tidak memperoleh solusi.

Dengan demikian, pengusaha sektor padat karya sangat berharap perlindungan pemerintah karena secara langsung atau tidak langsung telah menyerap banyak tenaga kerja.

"Alih-alih kita ingin melakukan satu upaya bagaimana perusahaan bisa tetap sustain, tapi hubungan kerja tetap terjaga, perlindungan ke perusahaan padat karya berorientasi ekspor, dan ekosistemnya, malah tidak dapat itu dari pemerintah," ujarnya. (ant/mau)